27: ...

354 24 0
                                    

Aku menyandarkan punggung di kepala sofa. Hari ini fluktuasi emosiku luar biasa sekali. Entah mengapa aku mengambil keputusan impulsif untuk menggunakan free pass card. Aku tidak tahu konsekuensi yang akan muncul di kemudian hari. 

"Permisi, Nona. Silakan diminum," ujar seseorang yang sepertinya staf di hadapanku. Pasti dia mau meracuniku, karena dia tahu identitas asliku. Aku memandang dengan tajam orang tersebut yang tak kunjung pergi. 

"Silakan diminum, Nona." Ia memaksa diriku untuk meminum. 

Aku meraih gagang gelas yang barusan dibawanya kemudian kulempar tepat ke hadapan kakinya. "Kamu mau meracuni saya, kan?" tanyaku telak padanya. Apa lagi coba motif dia?

Kulihat staf tersebut bukannya terkejut dan mencoba membela diri, tapi ia menampilkan senyum miring. Aku berdiri dan mengambil pecahan gelas di kakinya. Kucengkram kerah bajunya seraya menempelkan pecahan beling pada nadi di lehernya. 

"Siapa yang suruh kamu? Cepat, katakan! Sebelum saya benar-benar mengakhiri hidupmu karena sudah berani meracuni saya," ujarku penuh penekanan. Staf tersebut bukannya mengakui siapa yang menyuruhnya, ia malah tertawa dengan sangat keras. 

"Kamu bodoh, Ria! Mengapa kamu menunjukkan siapa dirimu di hadapan mereka? Sebentar lagi hidupmu tidak akan tenang," ujar staf tersebut dengan intonasi yang sangat meremehkanku. 

Aku semakin mengencangkan cengkraman pada kerah bajunya. Mengapa dia terlihat seperti sosok yang biasa muncul? “Kamu harus mati! Kamu tidak boleh mengganggu hidupku lagi,” ujarku penuh kesungguhan dan akan melenyapkan sosok di hadapanku. 

Lenganku ditarik dengan paksa oleh seseorang yang entah siapa itu. Aku tak mempedulikannya dan kembali menerjang sosok di hadapanku yang masih berdiri tegak. Kemana pecahan kaca di tanganku? Ah, masa bodoh. Aku bisa menghabisinya dengan tangan kosong. 

Tanganku terlepas secara paksa dan tubuhku dibawa menjauh dari sosok tersebut. Aku berusaha melepaskan diri tapi tak berhasil. Aku memberontak sekuat mungkin. Aku tidak bisa melepaskan kesempatan yang ada di depan mata untuk menghabisi sosok yang selama ini mengganggu hidupku. 

“Lepas! Jangan halangi gue untuk membunuhnya! Lihat, dia menertawakan gue dengan leluasa. Dia tidak pantas hidup dan terus mengganggu gue!” ujarku dengan sangat kencang seraya menggerakkan tubuh ke berbagai arah. 

“Kamu kalah lagi, Ria.” Sosok tersebut perlahan menghilang dengan senyum puas yang tampil di wajahnya. 

“Gue gak kalah! Gue pasti akan bisa menghabisi nyawa lo!!” teriakku menumpahkan segala amarah. 

Aku terdiam. Mengatur napas dan amarah yang tak kunjung redam. Perlahan pegangan di lengan atasku mengendur. Aku tidak tahu siapa yang menahanku untuk kesekian kalinya tiap kali aku mau melawan si sosok tersebut. Entah mengapa orang-orang di sekitarku justru membelanya dan membiarkan ia hidup dengan tenang dan terus menggangguku. Apakah mereka tidak menginginkan aku bahagia dengan menghilangkan satu saja sosok orang yang selalu membuatku tertekan dan merasa sakit. 

Berbagai pertanyaan dan prasangka memenuhi pikiranku saat ini. Pikiranku ramai. Sibuk menyalahkan siapapun yang menghalangiku untuk menghilangkan sosok tersebut. Tak berselang lama suara lelaki yang entah siapa namanya kembali terdengar di telingaku dengan sangat jelas. "Kamu tidak akan bisa melenyapkan aku, Ria. Kamu yang akan pergi lebih dulu dan mengakui kekalahan mu di hadapanku."

Aku menutup kedua telingaku. Menekannya dengan sekuat mungkin. "Aku gak kalah. Aku gak akan kalah dari kamu. Pergi, jangan ganggu hidupku lagi," ujarku dengan merintih. Tuhan, bantu Ria menyelesaikan ini semua. Bantu Ria untuk menyudahi segala kesakitan ini. Mengapa Engkau membiarkan dia mengganggu Ria? Ria salah apa dengan Tuhan? Ria hamba Tuhan yang taat. Ria mohon. Ria sakit. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang