88: Kerja

177 25 1
                                    

"Heh, anak baru," panggil Annet pada Ria yang baru duduk di kursinya. 

"Gue punya nama!" sentak Ria. Ia sudah menahan kesabarannya dari pagi. Jika sorenya diganggu juga, bersiap saja mulut jahanamnya keluar. 

“Nggak penting nyebut nama lo!” 

“Nggak penting juga jawab perkataan lo berarti,” timpal Ria tak mau kalah. 

“Bellin gue kopi di bawah, dong,” suruh Annet seolah ia pemilik ruang OPR. 

“OB ada.” 

“Gue maunya lo yang beli.” Annet kekeh dengan perintahnya. 

“Gue nggak mau,” balas Ria cepat. 

“Lo berani lawan gue?” tanyanya dan berdiri dari kubikel. 

“Berani, lah! Siapa lo emang? Manajer bukan, direktur bukan, CEO bukan, gayanya kek pemilik perusahaan aja,” cibir Ria dan melempar tisu yang digunakannya barusan ke arah tempat sampah di bawah mejanya. 

“Awas lo, ya! Baru hari pertama udah cari gara-gara sama gue,” katanya penuh ancaman dan berlalu keluar. 

Ria tidak menghiraukan ancaman tersebut. Ia melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya di sore hari sebelum pulang ke rumah. 

“Ri, jangan ditanggepin. Dengerin aja dan lakuin perintah dia, biar nggak berisik,” ucap Zetta menasihatinya yang semakin membuat Ria kesal. 

“Kenapa gue harus mengikuti perkataan dia? Gue nggak digaji sama dia, kok. Dio aja nggak sedikitpun nyuruh gue dari tadi, padahal kepalanya di ruangan ini dia, kan?”

“Gue kasih tahu, ya. Semua orang di ruangan ini pernah merasakan posisi lo, disuruh-suruh sama Annet. Ngeback up pekerjaan dia sementara dianya pergi entah kemana. Ngerasain jadi pesuruhnya dan masih banyak lagi kegilaan dia, deh,” ucap Zetta penuh emosi, seolah menyampaikan kekesalannya selama ini terhadap sosok Annet. 

“Kan bisa bilang tidak untuk mengerjakan hal di luar jobdesc kalian,” timpal Ria dengan mudahnya. 

“Nggak segampang itu, Ri. Backingan dia kuat banget. Semua orang di divisi OPR yang pernah jadi pesuruhnya pasti pernah dipanggil ke atas karena tidak mengikuti perintah dia.” Zetta menampilkan ekspresi sedih, mengingat masa tersebut. 

“Siapa emang? Kalau posisinya lebih kuat dari backingan gue, baru deh gue ikutin perintah dia,” sahut Ria dengan sombong. Memang ada yang bisa mengalahkan posisi Antara dan Wira? 

“Pak Bondan, direktur operasional. Dia Ayahnya Annet.” 

Mendengar nama tersebut, Ria sontak tertawa. “Ya ampun, direktur operasional yang botak itu? Ckckck nggak ada apa-apanya,” ujar Ria mengecilkan sosok Bondan. 

“Sssttt. Jangan keras-keras, nanti ada yang laporin kamu ke Pak Bondan, loh.” 

Ria mengikuti perkataan Zetta yang sudah ketakutan jika pembicaraan mereka sampai ke Bondan. Ia masih membutuhkan informasi lainnya dari gadis tersebut. 

“Lanjut!” 

“Parahnya lagi, mereka yang menolak akan dikerjain abis-abisan sama Annet. Bisa aja dia menemukan kendaraan pribadi anak OPR yang menentangnya. Bannya dikempesin, bahkan dibocorin dengan paku. Bayangin, Ri. Orang-orang yang rumahnya jauh dan transportasinya menggunakan kendaraan pribadi harus beralih pake transportasi umum karena kelakuan gilanya!” ujar Zetta menggebu-gebu. Ria sampai memundurkan tubuhnya, takut terkena pukulan refleks gadis tersebut. 

Calm down, calm down. Terima kasih, loh, infonya.” Ria memberikan senyum tulusnya yang jarang ditampilkan. 

Sejenak Zetta sempat terpaku dengan senyuman tersebut. Baru pertama kali ia menerima senyuman tulus seperti itu di Wira Corps. ini. “Sama-sama. Pokoknya kamu jangan berurusan dengan dia, ya, Ri. Aku nggak pengen kehilangan anggota tim lagi akibat kelakuan aneh dia.” 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang