“Ria kenapa mau pergi ninggalin Papah?” tanya Antara begitu Ria sudah dalam kondisi stabil dan dapat diajak berbicara.
“Papah kenapa nggak pernah ada setiap Ria panggil?”
“Papah kerja, Nak.” Jawaban tersebut membuat Ria mendengus.
“Ria takut apa? Ria mau pergi dari siapa?” tanya Antara begitu teringat bahwa putrinya ingin pergi jauh dari kehidupan seseorang.
“Ibu.” Sesuai dugaannya, mendiang istrinya yang sangat ingin dijauhi Ria.
“Sekarang tahun berapa?” tanya Antara kembali memastikan bahwa Ria di hadapannya saat ini adalah Ria kecil atau Ria dewasa.
Gelengan kepala sebagai jawaban yang diterima Antara. Tergambar jelas bahwa Ria kebingungan ketika ditanyai waktu saat ini.
“Ria ingat apa saja yang sudah dilakukan Ibu terhadap Ria?” Ria menganggukan kepala.
Entah bagaimana ceritanya, semua memori tersebut terputar di hadapannya saat ini seolah sedang menyaksikan layar lebar. Ria melihat setiap potongan kejadian yang sangat membekas di hidupnya hingga membuatnya ketakutan dengan sosok Ibu.
Menunjuk ke depan yang sedang menampilkan kilasan memori tersebut, Ria berujar, “Emi ditusuk dadanya sama Ibu.”
“Emi melihat Ria untuk terakhir kalinya.” Memori tersebut ketika pertama kalinya Ria melihat ibunya membunuh orang tanpa berperasaan.
Kilasan memori selanjutnya muncul dan Ria kembali menyuarakan yang ada di hadapannya saat ini tanpa berusaha memikirkan diksi yang tepat.
“Ibu mau pukul Reynal, tapi Ria tahan. Ibu marah dan berakhir Ria yang dipukul karena mengganggu kegiatan Ibu.” Memori tersebut ketika Reynal yang bermain terus di taman belakang dan tidak mau pulang padahal sudah jam makan. Ketika ditarik untuk pulang, malah tantrum yang didapatkan. Reynal yang saat itu masih berumur empat tahun tidak mengerti apapun dan hanya bisa menangis.
Kesal dengan tantrum tersebut, Lidya berniat untuk menghukum Reynal dengan caranya. Memukulnya hingga terdiam. Ria yang sedang berada di rumah kala itu langsung menghentikan aksi sang ibu dan memintanya untuk menghukum Ria saja alih-alih menghukum Reynal yang masih sangat kecil.
“Pardi dipukul kepalanya pakai ujung gesper sampai meninggal,” ujar Ria melihat memori selanjutnya. Ketika dirinya pulang terlambat ke rumah.
Air mata tidak terbendung lagi begitu melihat bahwa ibunya lebih membela Reno dan melampiaskan semuanya pada Ria. “Reno marah ke Ibu. Ibu marah ke Ria sampai Ria dipukul. Ria diam saja nggak tahu mau marah ke siapa.”
“Ria panggil Papah setiap malam. Ria bilang ke pengawal lain untuk sampaikan ke Papah. Tapi Papah nggak pernah datang untuk jemput Ria.”
“Ibu bilang, Ibu sayang Ria. Tapi Ibu selalu marah ke Ria. Apa Ria bukan anak Ibu?” Hal tersebut seringkali terlintas di benaknya setiap kali ibu melampiaskan kemarahannya pada Ria.
“Ibu banyak membunuh orang dengan alasan sepele dan tidak masuk akal. Mereka selalu melihat tepat di mata Ria sebelum nyawanya tercabut.”
“Ria takut. Ria selalu melihat mata mereka setiap tidur malam Ria. Ria nggak tahu harus apa.”
“Sampai akhirnya Ibu bilang bahwa Ria tidak diinginkan lagi di hidup Ibu. Ibu tidak suka anak sok pahlawan seperti Ria dan Ibu mengharapkan kepergian Ria untuk selamanya.” Perkataan tersebut yang membuat Ria menyerah dalam sekejap. Alasannya bertahan selama ini menerima segala kekerasan fisik dan kekerasan mental yang dilakukan ibunya adalah karena ibunya yang masih membutuhkan keberadaan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Woman
Literatura FemininaRia Ananta. Ananta itu kepanjangan dari Anaknya Antara, papahnya Ria. Ia sengaja diberi nama itu untuk menutupi identitas aslinya yang merupakan anak seorang konglomerat kaya raya tujuh turunan. Padahal sudah terlihat jelas dari pembawaannya bak pu...