103: Monokrom

199 27 2
                                    

“Gue punya CV, mau lihat nggak?” tanya Ria di dalam mobil karena mereka yang belum mempunyai tujuan. 

“CV siapa?” 

“Gue,” jawab Ria. 

“Tapi-” Reno menggantung perkataannya karena yakin belum selesai. 

“Dijalankan oleh orang lain,” timpal Ria dengan bangga. 

“Lo punya berapa CV?” 

“Tiga, empat, lima. Wah tak terhingga,” kata Ria dengan merentangkan tangan.

“Kurang-kurangin deh, Ri. Nggak baik untuk keuangan lo ke depannya karena lo sendiri nggak ikut terjun langsung dalam kepengurusan CV tersebut.” 

“Kenapa? Sejauh ini nggak pernah ada berita kerugian dari CV yang gue punya,” kata Ria heran. 

“Karena lo nggak tahu duit yang masuk dan keluar dari rekening lo berapa! Iya, kan?” tuding Reno tepat sasaran. 

“Terus gimana dong?” Ria jadi risau. Dibandingkan mengeluarkan uang di CV, lebih baik dan lebih untung jika ia membeli saham atau menjadi investor di sebuah PT. 

“Nah itu dia! Gue ini investor! Investor di banyak perusahaan.” 

“Tapi nggak pernah tahu kemana perginya uang tersebut,” cibir Reno kembali. 

Ria menepuk paha Reno di sebelahnya dengan geram. “Awh, sakit, bego!” Reno balas menepuk paha Ria tak kalah keras. 

“Kok lo bales, sih?” Tak mau kalah, ia memukul lengan atas Reno begitu pun sebaliknya. 

“Cukup!!!” teriak Fikri dan supir mereka bersamaan. Kalau tidak dilerai, bisa-bisa mereka akan babak belur karena sama-sama keras kepala. 

“Jadi, kita mau kemana Tuan dan Nona?” tanya Fikri dengan menekan setiap katanya. 

“Monokrom.” “Intrafood.” 

“Tumben nggak kompak," ujar Fikri terheran. 

"Lo mesti ikut gue," kata Ria tegas. 

"Nggak! Lo yang harus ikut gue." 

"Ini mobil siapa? Di depan sopir dan pengawal siapa? Gue! Jadi, lo harus ikut kemana pun gue pergi," ujar Ria membawa Fikri dan supir di hadapannya ke dalam argumennya. 

"FPC punya siapa? Gue! Jadi, lo yang harus ikut gue." 

"Hey, gue juga punya FPC. Bukan lo doang Tuan Reno yang terhormat," sahut Ria tak mau kalah. 

"Lo mau datang sebagai apa? Mantan karyawan Pusat yang tiba-tiba sidak ke anak perusahaan? Kalau gue bisa dengan bangga memperkenalkan diri sebagai PresDir Adiwira," ungkap Reno dengan percaya diri. 

Ria terdiam. Ia tidak memiliki kedudukan apapun. "Aarrgghh Reno bangsat!" 

"Sudah sampai di tempat tujuan Nona dan Tuan sekalian." Fikri membukakan pintu di sisi kiri Ria dan langsung diberi tas hitam putih keluaran Dior yang biasa digunakan sebagai tas jinjing. 

Pintu ditutup kembali dan Ria melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Mengingat saat ini dirinya berada di pelataran Monokrom, membuat kepercayaan dirinya menguap entah kemana. 

Ria berulang kali merapikan tatanan rambutnya yang padahal tidak merubah apapun. Ia juga berputar untuk memastikan tak ada celah sedikitpun untuk orang lain mengomentarinya dari segi penampilan. 

Dress warna putih gading keluaran Prada melekat di tubuhnya saat ini. Dress dengan model pas di bagian atas dan mengembang dari pinggul ke bawah khas model baju kesukaannya. Tak lupa blazer putih Fendi yang menjadi luarannya saat ini. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang