74: Bukan Tandingan

214 24 2
                                    

"Boo, Bang Randy sekarang ada dimana?" tanya Tian memecah keheningan di antara mereka. 

Ria yang sudah *tipsy tidak begitu mendengar perkataan Tian. "Apa, Yan?" tanya Ria memastikan. (*agak mabuk)

"Bang Randy dimana sekarang?"

Ria memejamkan matanya, berpikir keras. "Iya juga. Dimana dia, ya?" 

Tian menepuk jidatnya mendapati pertanyaan dari Ria. "Coba lihat ke belakang. Di pojok dekat counter minuman," kata Tian dan langsung diikuti oleh gerakan kepala Ria yang sudah memperhatikan keadaan di belakangnya. 

Ria menyipitkan kedua mata berusaha memfokuskan pandangannya yang mulai kabur. Tanpa diduga, Ria bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri tempat yang katanya Tian terdapat sosok Randy. 

"Eh, ngapain dia? Ikuti sana, Yan! Pengalaman gue sih biasanya orang mabuk bertindak impulsif," suruh Julio yang langsung diikuti oleh Tian. 

Ria tiba di depan meja yang diduga terdapat sosok Randy. Ia terkejut, bukan hanya Randy yang ditemuinya. Tapi abangnya yang satu lagi. 

"Wah. Kebetulan macam apa ini? Kita semua bertemu di sini," kata Ria yang menginterupsi percakapan antara Reno dan Randy. 

Kedua lelaki tersebut melihat ke arah Ria secara bersamaan dan menunjukkan reaksi yang sama-sama terkejut. "Ria," ujar Randy tak percaya. 

Ria mengambil tempat duduk di antara mereka. "Jadi, selama ini lo berada di sini, Ran? Kenapa gue gak expect." Ia tidak terpikirkan bahwa Randy mengikuti sang papah yang ke New York. 

"What's the problem? Kalian pergi ke New York tanpa memberi kabar ke gue dan Reynal," ujar Ria telak yang membuat Randy tak mampu menjawab. 

"Mereka datang untuk gue. Kenapa? Lo gak senang?" tanya Reno yang terkesan mengkonfrontasi Ria. 

Ia tidak sepenuhnya memalingkan muka ke arah Reno yang berada di sisi kirinya. "I'm fine. Lo anak Papah juga, kan?" 

"Kenapa gue lihat lo seperti tidak menerima kenyataan bahwa mereka ke sini untuk gue?" tanya Reno lagi dengan sarkas. 

Sungguh. Ria ingin sekali membalas perkataan kakak pertamanya seperti biasa ia menjawab, dengan sinis dan tak berperasaan. Tapi ia tak bisa. 

"Abang bisa jelasin, Dek." Randy menggenggam tangan Ria dengan perlahan yang langsung ditepis oleh gadis tersebut. 

"Nggak ada sopannya sama Abang sendiri," ujar Reno dengan sedikit keras. 

"Adiwira Group ada masalah yang sangat serius dan butuh perhatian dari kami, dan Bang Reno dalam kondisi sakit saat itu. Sehingga kami harus segera bertandang ke New York," ungkap Randy yang semakin membuat hati Ria teriris. 

Entah karena efek alkohol yang diminumnya atau memang penjelasan Randy membuka lukanya yang belum kering. Pandangannya kabur oleh air yang berlomba-lomba turun dari pelupuk mata. 

"Lo nggak mendadak bisu, kan? Tanggapi penjelasan dari Randy!" kata Reno semakin sinis. 

Ia tidak pernah bisa melawan sosok Reno sedari dulu, sungguh. Seolah mulutnya kelu jika lelaki tersebut ada di dekatnya. 

"Jangan ditahan, Dek. Kalau mau nangis, nangis aja. Abang gak tega lihat kamu sok kuat begini." Perkataan Randy barusan benar-benar membuat tangis Ria pecah. 

Ria menopang kepalanya dengan kedua tangan di atas meja. Rambut sebahunya menjuntai menutupi sekeliling wajahnya yang tengah menunduk. Bahunya bergetar hebat. Ria tidak paham apa yang membuatnya menangis. Mengetahui fakta bahwa Randy dan papahnya meninggalkannya demi Reno, atau karena ia harus bertemu dengan sosok mimpi buruknya di masa lalu. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang