~~~ saya senang melihat vote lebih dari 20. Apakah teman-teman begitu antusias dengan part sebelumnya? Terima kasih, ya.
~~~~
“Rumahnya nggak pernah ditinggalin tapi terawat banget,” ungkap Ria setelah melihat sekilas dari luar.
“Lo nggak tinggal di sini?” tanya Septa terkejut.
Ria menggeleng sebagai jawaban. “Mungkin karena masih banyak PRT dan penjaga yang tinggal, jadi nggak rusak dan kayak rumah kosong,” kata Ria begitu bertemu pandang dengan salah satu PRT di sini.
Pembantu tersebut menghampiri Ria dengan tergopoh. Terlihat dari perawakannya, sepertinya berumur akhir 40-an. “Cari siapa ya, Non?” tanyanya dengan mendongak karena tingginya hanya sebatas dada Ria.
Ria menunjukkan FPC yang berada di belakang casing ponselnya. Masuk ke gerbang rumah ini saja menggunakan sensor. Betapa Antara dan segala penjagaannya. Pembantu tersebut tampak sangat terkejut begitu melihat kartu yang ditunjukkan. Ia langsung bersimpuh di hadapan Ria. “Maafkan saya yang tidak mengenali Nona,” akunya terdengar berlebihan.
“Bangun! Saya bukan mau menghakimi,” titah Ria yang langsung diikuti oleh pembantu tersebut.
“Nggak usah kasih tahu Tuan kalau saya ke sini! Nanti kamu yang saya habisi di tempat!” ancam Ria dan langsung berlalu dari hadapan wanita tersebut yang tertegun.
“Boleh gue lihat yang lo tunjukkan tadi?” tanya Septa dengan penasaran yang tergambar jelas.
Ria memberikan bersama ponselnya karena malas mengeluarkan kartu tersebut. “Free Pass Card,” ujar Septa membaca perlahan.
“Oh, ini yang disebut kartu sakti itu, ya?” tanya Septa antusias.
“Hah? Sakti gimana?”
Septa mengembalikan ponsel tersebut pada Ria. “Waktu itu beredar info bahwa ada seseorang yang menggunakan kartu tersebut. Kartu yang membuatnya bisa mengakses semua ruangan yang ada di Monokrom, bahkan lift petinggi dan lift GMC sekalipun. Orang yang tahu sejarah pemilik kartu tersebut pasti akan langsung tunduk seolah dia atasan tertinggi melebihi direktur utama di Monokrom.”
“Oh.” Hanya seperti itu respon Ria. Bukan hal yang begitu berarti karena ia cukup sering menggunakannya belakangan ini. Dan tidak mendapat perlakuan spesial seperti yang dikatakan Septa barusan.
“Jadi, lo orangnya si pemilik kartu sakti tersebut? Jangan-jangan waktu restroom kita ditutup gitu aja dan dipindahkan ke ruang sebelah karena lo juga?”
“Iya, kali.” Ria tidak tahu, sungguh. Bahkan ketika ia datang menggunakan FPC kala itu, dihadiahi sikap yang tidak menyenangkan dari kepala pengawal GMC.
“Berarti, Monokrom di bawah kepemimpinan Om Antara juga?” tanya Septa lagi begitu menyadari suatu hal.
“Iya, kali. Gue nggak tahu.”
“Gimana ceritanya lo bisa tahu bahwa gue anaknya Antara?” tanya Ria memecah keterdiaman Septa yang masih speechless.
“Papa lo kan dateng sendirian ke acara tersebut. Terus karena gue disuruh basa-basi sama Bokap gue, jadinya gue samperin deh. Kita ngobrol-ngobrol bercanda ngalor ngidul. Terus HP-nya bunyi dan dia ngangkat telepon tersebut di depan gue.”
“Meskipun suasana saat itu rame banget, gue masih bisa dengar samar-samar suara dari si penelepon yang kencang banget. Bahkan Om Antara sampai menjauhi ponselnya dari telinga. Nah, nggak sengaja gue lihat nama kontaknya Ria My Love.”
“Idih, alay banget Bapak-Bapak satu itu,” cibir Ria begitu mendengar kontaknya dinamai seperti itu.
“Selesai telponan, Om Antara bilang ‘Biasa lah, anak Om mau keluar rumah padahal belum sembuh sakitnya. Marah-marah gitu ngiranya Om kurung, padahal demi kesehatan dia sendiri’.”
“Gue yang dengar kaget, dong. Sejak kapan Om Antara punya anak? Bukannya dia dicap sebagai bujang lapuk dan generasi terakhir dari klan Adiwira? Gue tanya, lah. Emang umur anak Om berapa? Laki-laki atau perempuan? Dengan niatan untuk memastikan. Siapa tahu Om Antara baru nikah dan baru punya anak, kan.”
“Beliau jawab umur anaknya yang barusan nelpon 26 tahun dan perempuan. Gue makin syok, Ria. Lo bayangin kalo di posisi gue pas gue bilang Januar udah punya anak umur lima tahun.”
“Hah? Januar udah punya anak? Serius, lo?” Ria menyuarakan keterkejutannya.
Septa tertawa kencang. “Kan, kemakan gosip juga. Gitu, lah posisi gue saat itu, Ri.”
“Lo serius! Januar beneran udah punya anak?” cerca Ria.
“Enggak, lah. Belom! Dia akan punya anak setelah berhenti dari GMC. Karena dia mau jadi ayah yang baik yang selalu ada untuk anaknya, katanya. So, pacar aja belom punya,” jawab Septa menyampaikan informasi lainnya.
“Terus, gue pancing lah mulai bahas anaknya Om Antara ini. Menarik banget nggak sih Bokap lo, Ri. Di umurnya yang segitu melihat anak-anak temannya yang sukses dan diperkenalkan dengan bangga ke publik dan beliau harus gigit jari karena tidak punya anak atau anaknya diumpetin.”
Ria kembali menghembuskan nafasnya keras ketika bahasan ini disinggung saat ini juga. Ria mengambil cangkir yang sudah disediakan oleh pembantu tadi dan meminumnya. Mereka sudah duduk dengan nyaman di bangku tengah taman belakang mansion Antara.
“Beliau dengan bangganya mengatakan bahwa putrinya udah jadi manajer operasional di Intrafood pada usia semuda itu. Berhasil mencapai jabatannya sekarang dengan usahanya sendiri. Bahkan beliau bilang, putrinya berhasil menembus target profit dari perusahaannya. 10 miliar kalo nggak salah.”
“Dan ini yang bikin identitas lo terungkap. Papa lo bilang anaknya yang perempuan punya teman baru yang membawa dampak kurang baik ke hidupnya. Katanya lo jadi sering mabok-mabokan, menghamburkan uang untuk hal yang nggak penting dan temannya itu artis besar yang sempat jadi brand ambassador di perusahaan tempatnya kerja. Beliau juga bilang kalo anaknya pacaran sama salah satu artis tersebut. Gue langsung tahu kalau itu lo.”
“Udah gila! Mana ada gue jadi mabok-mabokan. Menghamburkan uang juga hasil kerja gue sendiri. Dih, bener-bener itu orang tua satu, ya!” cibir Ria yang jelas tertuju pada Antara.
“Terus, gue tanya gini ke Papa lo, ‘Emang Ria sakit apa, Om?’ Beliau jawab katanya syaraf di otaknya kena dan harus dirawat di rumah sakit selama tiga bulan. Nah, kan dia nggak menyangkal bahwa nama anaknya adalah Ria.”
“Halah, dia nggak mau mengakui bahwa gue sakit jiwa!” cibir Ria lagi.
“So, what’s next? Mau sampai kapan lo bertahan di zona nyaman sementara Papa lo udah nggak muda lagi, Ri? Gue aja udah mulai mau diajak ke acara kolega bisnis Papa gue biar nggak kaget ketika nerusin bisnis beliau.”
“Nggak tahu. Gue nggak suka jadi center of attention. Bahkan masuk ke circle kalian aja membuat gue berpikir ulang dengan nama besar kalian sebagai artis dunia. Tapi, karena kalian menerima gue dengan tangan terbuka dan kalian melepas semua atribut keartisan saat bersama gue, di situ gue memilih untuk melanjutkan hubungan pertemanan kita.”
“Lo nggak sendiri, lo tahu? Kita akan melewati ini bersama. Terlebih Papa lo yang akan menjaga lo dengan ekstra. Dan jangan lupa, kasih tahu Tian juga. Gue nggak mau hal ini jadi batu sandungan di hubungan kalian,” ujar Septa mengingatkan Ria bahwa baru Septa yang mengetahui orang tuanya. Julio juga tahu, sih, karena ia korban ibunya.
“Btw, kenapa nama anak Om Antara nggak ada embel-embel Antara maupun Adiwira, ya? Kalian kan klan Adiwira yang terkenal itu.” Septa menyadari ada hal yang janggal juga. Biasanya tipikal orang Indonesia, menyematkan nama keluarganya di akhir nama mereka.
“Ananta,” jawab Ria singkat.
“Apa tuh?”
“Anaknya Antara.”
#############
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Woman
Chick-LitRia Ananta. Ananta itu kepanjangan dari Anaknya Antara, papahnya Ria. Ia sengaja diberi nama itu untuk menutupi identitas aslinya yang merupakan anak seorang konglomerat kaya raya tujuh turunan. Padahal sudah terlihat jelas dari pembawaannya bak pu...