110: Hangout

250 33 4
                                    

"Mau kemana, Yan?" tanya Septa menghentikan langkah Tian yang sudah bersiap untuk turun.

"Jemput Ria, lanjut belanja."

"Ke Kelapa Gading?" tanya Septa kembali memastikan.

"Iya.

Septa sempat tertegun. Jam segini papahnya Ria pasti sudah di rumah. Tapi Ria meminta Tian untuk menjemputnya di rumah sang papah. Atau Ria berniat mengenalkan Antara pada Tian, ya? Begitu pikir Septa.

"Hati-hati. Kalau ada kendala, kabarin, ya." Septa tersenyum menenangkan.

Tian mengangguk dan bergegas turun ke basement, tempat mobilnya terparkir. Ia menemukan mobilnya di antara mobil artis Monokrom lainnya. Memang GMC tidak punya parkiran khusus seperti lantai yang dikhususkan untuk GMC.

Setelah berkendara selama 1,5 jam dari kantor Monokrom, tibalah Tian di depan gerbang perumahan kediaman Ria. Seperti kebanyakan perumahan elite pada umumnya, Tian dihentikan satpam dan ditanya akan berkunjung ke rumah siapa. Kemudian Tian meninggalkan identitas dirinya yang telah terverifikasi dan diizinkan masuk.

Tian sudah memutari jalan di perumahan tersebut, namun tak kunjung menemui rumah Ria. Sudah cukup lama berlalu terakhir kali dirinya kunjungan, itu pun bukan Tian yang menyetir mobil. Jadi, ia tidak hapal jalan. Bahkan tidak tahu nomor dan blok rumah Ria.

Menyerah. Tia menghubungi Fikri untuk memberitahu blok dan nomor rumah Ria. Setelah diberitahu dan kembali menyusuri jalan, Tian tiba di depan pagar yang menjulang tinggi menutup sepenuhnya areal dalam rumah. Mengklakson beberapa kali menandakan keberadaannya di depan saat ini.

Tak butuh waktu lama, pagar di hadapannya terbuka. Tian sempat tertegun beberapa saat melihat halaman yang begitu luas menyambutnya. Lampu-lampu taman tersebut sangat cantik, seolah menandakan bahwa penghuni rumah tidak suka suasana mencekam. Karena lampu taman tersebut memberikan kesan ramah bagi siapapun yang datang.

Tian diarahkan untuk parkir tepat di depan pintu rumah, tertutup kanopi. Di depan pintu tersebut, ada Fikri yang berdiri tegap menunggunya. Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, Tian keluar dan menghampiri keberadaan Fikri. Pintu rumah yang tepat berada di belakang Fikri, terbuka sebelah dan menampilkan cahaya yang cukup terang.

"Silakan masuk. Tunggu di sini, ya. Saya panggilkan Nona terlebih dahulu." Fikri mengantarnya hingga duduk di kursi ruang tamu. Tian melihat sekeliling dinding yang dipenuhi ornamen dan beberapa lukisan dari pelukis terkenal. Sepertinya hasil dari menang pelelangan. Guci-guci mahal tak lupa berada di sudut ruangan. Ia tahu kisaran harganya karena opungnya juga kolektor guci.

Untuk ukuran crazy rich, desain rumah Ria tidak begitu berlebihan dan tidak ada barang-barang mahal yang beberapa waktu terakhir viral di jagat sosial media. Bahkan ia tidak menemukan bantal sofa merek hermes di sini.

Namun hiasan dinding dan beberapa ornamen yang terdapat di ruangan ini sudah sangat menunjukkan bahwa pemilik rumah ini kaum borjuis. Tentu saja bagi mereka yang mengerti tentang barang antik dan hasil karya seni lainnya yang Tian taksir bernilai paling murah 300 juta.

Tak berselang lama, seorang PRT mengenakan seragam mengantarkan minuman ke hadapannya. PRT tersebut menyediakan tiga jenis minuman, mulai dari teh, jus, dan air putih. Mungkin sebagai opsi jika sang tamu tidak menyukai teh ataupun minuman yang lain.

Pintu yang sedari tadi tertutup, terbuka menampilkan sosok lelaki bertubuh tegap berjalan menghampirinya. Pintu yang dibuka pada satu sisi, kembali ditutup olehnya. Dari jauh tidak terlihat dengan jelas siapa gerangan lelaki tersebut, pengaruh dari matanya yang minus.

Setelah tiba di hadapannya, Tian baru mengenali sosok lelaki tersebut. Membelalakkan mata dan sempat tertahan napasnya. "Pak Reno. Selamat malam." Tian berdiri dan memberi salam pada lelaki tersebut yang beberapa hari lalu menjabat sebagai direktur utama di Monokrom.

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang