59: Rumah Sakit

273 44 4
                                    

~~
Teman, mengapa saya merasa vote-nya menurun, ya? Apakah tidak bersedia untuk memencet tombol bintang?

****
Ria duduk termenung memandangi rumput di hadapannya. Ia masih terbayang raut terkejut diiringi kecewa tatkala mengatakan kalimat terakhirnya di hadapan Wira. Ria tidak berniat menyakiti, sungguh. Ia hanya, apa? Tidak tahu. Ria menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perasaan bersalahnya kian membuncah ketika mengingat ekspresi Wira terakhir kali. 

Fikri menginterupsi lamunan Ria dengan mengatakan, "Ayo ke rumah sakit. Sudah saya buatkan janji temu dengan dokter spesialis kulit." 

Ria melihat kedua tangannya yang selalu diperban. Belum benar-benar pulih dari luka sebelumnya, sudah mendapat luka yang baru lagi. Tidak pernah sembuh. Entah sampai kapan harus menanggung luka tersebut. 

Ria menuju rumah sakit ditemani keheningan. Tidak ada yang berani mengajak Ria berbincang. Mereka seolah tahu bahwa nonanya sedang tidak baik-baik saja. 

Sesuai instruksi dari Fikri, Ria memasuki ruang praktik spesialis penyakit kulit yang tidak begitu ramai. Meskipun ramai, Ria pasti didahulukan karena pasien VIP. Uang berbicara di atas segalanya. 

"Selamat sore, Nona," sapa dokter di hadapannya. Ria tidak memberikan tanggapan, ia hanya memandang datar dokter di hadapannya. 

"Ada yang bisa dibantu?" Tidak ada jawaban. 

"Boleh saya tahu keluhannya?" Tetap tidak ditanggapi. 

Ria memutar bola matanya. "Panggil pengawal saya deh, biar dia aja yang jawab pertanyaan," titah Ria pada perawat yang berdiri di samping meja dokter untuk melakukan penanganan. 

Fikri memasuki ruangan dan berdiri tepat di belakang kursi Ria. "Duduk," perintah Ria dan langsung dilaksanakan. Fikri duduk di samping Ria. 

"Kenapa lukanya ini?" tanya dokter yang langsung tertuju pada Fikri. Ia melihat perban yang melingkari tangan kiri Ria. 

Fikri mengangkat kedua tangan Ria dan meletakkannya di atas meja. Seolah mengizinkan untuk suster melakukan tindakan. "Kena tusukan belati," jawab Fikri dan terbukti dari tangan kiri Ria yang terdapat luka melebar. 

"Tangan kanannya kena juga?" 

"Dua minggu yang lalu." 

Suster membersihkan luka Ria yang cukup dalam jika dilihat kasat mata. Dokter ikut melihat keadaan luka Ria. Ia beberapa kali memencet punggung tangan Ria untuk mengecek sesuatu. 

"Sampaikan saja Nona jika merasakan sakit," ujar dokter karena melihat Ria yang tidak bereaksi sedikitpun. 

Mendengar perkataan dokter tersebut, air mata Ria langsung turun. Ia menangis tersedu-sedu ketika tangannya sedang diobati. Seolah diizinkan untuk merasakan sakit, maka Ria tidak menahannya lagi. Ia terbiasa menahan semua sakitnya sendiri. Dunia tidak peduli sesakit apa Ria saat ini, yang hanya dunia tahu bahwa Ria harus terlihat baik-baik saja. 

Tangisannya menyayat hati, sungguh. Fikri tidak segan mengusap punggung Ria untuk sedikit menenangkan kesedihan yang sedang Ria hadapi. Dokter dan suster juga merasa iba melihat pasien di hadapannya yang baru mengeluarkan perasaan ketika diizinkan. 

"Harus segera dioperasi ini. Saya khawatir tulang di tangannya patah melihat luka yang ditimbulkan. Harus dibenahi juga jaringan di tangan Nona karena kerusakannya sangat parah," ucap dokter tersebut pada Fikri yang mendengarkan dengan seksama. 

"Lakukan saja." Ria memberikan persetujuan untuk melanjutkan ke tahap operasi. Dokter langsung membuatkan surat rujukan ke dokter bedah dan ortopedi untuk penanganan lebih lanjut. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang