33: Nona Ana

566 31 4
                                    

“Panggil Keenan ke ruangan saya,” titah Ria pada Karin-sekretaris Antara yang sekarang menjadi sekretarisnya untuk sementara waktu. 

“Baik, Nona,” jawab Karin dan langsung menghubungi kepala proyek akuisisi perusahaan PT. Intan Jaya yang sedang dalam tahap persetujuan pemimpin tertinggi. 

Satu minggu sudah Ria mengambil alih kepemimpinan perusahaan induk dan beberapa keputusannya membuat sebagian bahkan seluruh petinggi perusahaan banyak melakukan protes. Mereka berulang kali mencoba untuk mengadakan dialog dengan Ria, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Ria hanya akan menyelesaikan apa yang ada di hadapannya saat ini tanpa mempedulikan omongan sekitar. Ia punya perhitungan dan pertimbangannya sendiri, terlebih sedikit banyak ia mengetahui bagaimana sistem bisnis pada sektor FMCG ini. 

“Selamat pagi, Nona. Saya sudah di sini. Ada hal yang perlu didiskusikan?” sapa Keenan begitu tiba di ruangan yang disediakan khusus jika Ria ingin mengadakan diskusi dengan orang yang bersangkutan dengan suatu proyek. Ruangan khusus yang sebenarnya ruang meeting lantai 40. Ruangan tersebut didesain untuk mereka yang tidak mungkin bertatap muka langsung dengan Ria. Identitas sesungguhnya Ria masih dirahasiakan selama satu minggu kepemimpinannya di pusat. 

“Pada berkas perjanjian, disebut bahwa selambat-lambatnya ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 28 September dengan ketentuan berkas yang diajukan oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak memenuhi persyaratan tersebut maka akan dikenakan sanksi berupa---” Ria membacakan kembali pasal pada surat perjanjian dengan PT Intan Jaya. Memang kebanyakan berkas di sini adalah permohonan atau peninjauan ulang terkait bergabungnya beberapa perusahaan menjadi anak perusahaan di bawah naungan Wira Corp. 

“Iya, Nona. Betul.” Keenan menanggapi dengan seperlunya. 

“Siapa yang buat pasal bagian itu?” tanya Ria begitu selesai membacakan bunyi pasalnya. 

“Intan Jaya, Nona.” 

“Ok, saya tolak berkas ini dan silakan kamu minta denda yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada Intan Jaya karena ada salah dua berkas mereka yang belum masuk dan tidak terlampir sesuai dengan ketentuan perusahaan.” Perkataan Ria barusan sontak membuat beberapa orang terkejut, terlebih Keenan sebagai kepala proyek. 

“Ana, tapi-” 

“Nona.” 

“Maaf, maksud saya, Nona. Kerjasama ini bernilai fantastis, produk Intan Jaya sedang tinggi sekali demandnya di pasaran, dan layaknya menemukan sebuah Intan di tengah lautan,” ujar Keenan dengan argumennya. Tentu saja ia mempertahankan proyek ini. Tembus proyek sama dengan dapat bonus besar. Seperti itu sistem kerja di pusat, maka dari itu semua manusia di sini sangat ambisius karena budaya kerja yang dibangun Antara sebegitu luar biasa kejam bagi sebagian orang. 

“Dari hal-hal kecil yang mungkin bisa dianggap sepele saja mereka abai, bagaimana bisa bergabung dengan kami yang harus mengikuti pasar global? Saya tidak menerima argumen apapun Keenan,” tekan Ria sekali lagi. 

Karin menggelengkan kepalanya dengan wajah kasihan. Meminta Keenan untuk menyetujui perkataan Nona Besar mereka yang baru satu minggu bersama sudah sangat Karin pahami sifatnya. Keras kepala dan tak bisa dibantah. 

“Baik, Nona. Akan saya urus terkait denda yang telah disepakati.” Keenan keluar dari ruang meeting dengan penuh kekesalan. Rasanya ia ingin menerobos masuk ke ruangan dengan papan nama yang tercetak dengan elegan, “Antara Adiwira, Chief Executive Officer.” Tapi ia urungkan niat tersebut karena terdapat dua penjaga berbadan besar yang setia berdiri di depan pintu tersebut. Belum lagi beberapa penjaga di setiap sudut lorong memenuhi lantai ini dan membuat suasana makin menegangkan. 

“Kurang ajar si perempuan laknat itu. Bagaimana bisa hanya karena kurang dua berkas yang tak begitu penting, nilai kerjasama ini lenyap begitu saja? Dimana otak dia sebenarnya? Kurasa dia tidak kompeten dalam memimpin perusahaan. Jika terus seperti ini, perusahaan bisa pailit! Segera lapor ke komisaris dan adakan RUPS dalam waktu dekat!” titah Tejo pada Keenan anak buahnya yang baru kembali dari lantai 40. 

“Tidak bisa, Bos. Nona Ana dipilih dan ditunjuk langsung oleh Tuan Wira untuk menjalankan perusahaan ini. Sementara, suara Tuan Wira adalah keputusan mutlak yang tidak bisa dilawan karena kepemilikan sahamnya yang sangat besar.”

“Sialan! Saya lupa dengan penguasaan si tua bangka tersebut yang masih mendominasi perusahaan ini.” 

Ria dan Antara, dua orang yang berbeda dan memiliki gaya kepemimpinan masing-masing. Antara jarang sekali menolak penawaran kerjasama atau akuisisi perusahaan menjadi anak perusahaan Wira Corp. Ia tak begitu mempedulikan persyaratan, jika dirasa perusahaan tersebut mampu memberi keuntungan besar maka Antara tak perlu pikir panjang untuk menyetujui. Ia berbisnis menggunakan insting dan seni. Tentu saja hal itu didapatnya setelah puluhan tahun berkiprah di dunia FMCG ini dan bisa merajai hingga pasar global. 

Berbeda dengan Ria yang baru berkecimpung dalam dunia ini kurang dari lima tahun. Sense of businessnya belum ada sehingga ia mengambil keputusan berdasarkan analisis dan perhitungan yang rasional dengan manajemen risiko sekecil mungkin. Sementara para direksi adalah orang tua yang seangkatan dengan Antara, jelas saja segala keputusan yang diambil Ria banyak ditentang oleh mereka semua. Tapi mereka tak bisa berbuat apapun karena perintah Wira yang membiarkan Nona Ana, sebutan untuk Ria di pusat memimpin perusahaan dalam beberapa waktu ini. 

Ddrrttt. Ddrrrttt. 

"Iya," jawab Ria begitu sambungan terhubung. 

"Masih kerja." 

"Jemput aku sini, Yan. Di PIK 1, Wira Corporations," ujar Ria memberitahukan lokasinya saat ini. Christian yang menghubunginya. 

"Kamu jemput aku di basement saja. Foto detail mobil dan plat nomornya untuk dapat akses masuk ke basement," pinta Ria pada Tian di sana. Orang luar tidak bisa mengakses basement, bahkan karyawan biasa sekelas manajer pun tidak bisa. Hanya direksi dan itu pun berada cukup jauh dengan lift dan parkiran khusus Ananta. 

"Apartemen kamu di Central Park masih ada kan? Belum dijual? Masih layak huni?" tanya Ria begitu teringat Tian memiliki apartemen di sekitar utara ibukota. 

"Pulang ke sana aja ya. Gak kuat aku kalau harus pulang ke Rajawali," ujar Ria seraya merapikan berkas-berkas di hadapannya. Ia sudah tak kuasa menahan kantuk, kebetulan Tian menghubunginya di pukul 10 malam. Ria tak perlu jauh-jauh pulang ke Rajawali jika ada tempat singgah di Central Park. Sebenarnya kantor pusat tidak jauh dari kediaman Antara, tapi Ria sedang marah dengan orang tua tersebut dan ia tak sudi untuk menginjakkan kakinya di sana. Meskipun ada adik tercinta di sana, tapi ia tak peduli. Jika Reynal butuh dengannya, ia bisa dengan mudah datang ke pusat atau pun ke Rajawali. 

"Nanti ada mobil porsche kuning plat B 419 RCH atas nama Christian Hartanto beri akses ke car port saya. Antarkan sampai ketemu. Gak boleh ada keributan ketika dia datang," perintah Ria pada penjaga pintu masuk ke basement. Pintu masuk tersebut dibatasi dengan portal dan dijaga oleh empat penjaga. Benar-benar area steril dari orang luar. 

"Saya pulang ke CP, Ton. Kamu bisa menginap di hotel sampingnya. Biar yang shift malam yang jaga saya di CP. Pakai kartu saya, ajak Billy dan Bonnie sekalian," ujar Ria pada pengawal pribadinya yang setia menemaninya bekerja tak kenal waktu dari pagi hingga tengah malam. 

"Kamu gak perlu khawatir, Christian pasti memiliki pengawal pribadinya juga."

"Baik, Nona. Kabari saya jika terjadi sesuatu," pinta Anton yang terdengar sedikit nada memerintah. Ia tak mau menjadi orang terakhir yang mengetahui jika terjadi sesuatu dengan nonanya. 

"Iya."

##################################


Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang