61: Di luar dugaan

263 35 5
                                    

"Jimmy!" panggil Ria dengan riang melalui sambungan video call. Lelaki di seberang sana juga tidak kalah antusias ketika call sign Ria terpampang di layar ponselnya. 

"Ria!" balas Jimmy dengan semangat. "Puji Tuhan, lo selamat. Terakhir kali telepon gue lo pamitan udah kek orang mau meninggal," ucap Jimmy dengan sedikit kesal di akhir. 

Ria menampilkan senyum satu garisnya yang mampu mencairkan suasana kembali. "Lo lagi kerja, ya? Bisa disambung nanti lagi, Jim. Sorry." Ria melihat Jimmy yang sedang di styling oleh hair stylist yang merasa tidak terganggu dengan kegiatan Jimmy yang meneleponnya. 

"Iya, Ri. Gue mau pemotretan. Gue kasih ke Tian dulu, ya. Dia beneran jadi harimau garang tau gak! Semenjak kabar lo operasi dan gak bisa dihubungi, tiap hari kerjaannya dia ngomel terus." Jimmy menyampaikan kelakuan Tian dengan penuh emosi. 

"Okay." Ria memasang wajah tidak enak. Ia juga tidak kepikiran untuk menghubungi Tian kala itu, malah Jimmy yang dihubunginya. 

Ekspresi datar Tian terlihat dari layar ponsel Ria. Tatapan matanya yang tajam juga membuat Ria sedikit gentar menghadapinya. Padahal ia tidak takut dengan siapapun. Hariadi saja berani dia bantai. 

“Hai,” sapa Ria dengan canggung. Tian benar-benar tidak membuka suara terlebih dahulu. 

“Hm.” Hanya terdengar deheman tanpa ada suara lain. 

“Maaf. Kemarin mendadak banget informasi terkait operasi aku. Dan sepertinya aku juga udah keburu hilang kesadaran sebelum menghubungi yang lain. Papah dan keluargaku yang lain bahkan tidak dapat kabar dari aku,” ujar Ria menjelaskan secara detail kejadian waktu itu. 

“Tapi kamu sempet telepon Jimmy.” Tian menyudutkannya. 

“Karena dia ada di daftar atas panggilan dengan aku. Malamnya juga aku abis main sama dia makanya yang diingat cuman Jimmy,” jawab Ria dengan kesal. Lelaki di hadapannya sedang cemburu atau bagaimana?

Tian menghembuskan napas  keras, suaranya terdengar dengan sangat jelas melalui ponsel Ria. “Di rumah sakit mana? Aku mau jenguk.” 

Ria langsung menggeleng dengan tegas. “Gak mau kasih tahu!” 

“Ria, kamu jangan bikin aku tambah merasa bersalah karena gak pernah ada ketika kamu sakit,” ungkap Tian dengan perasaan bersalah yang tergambar jelas di raut wajahnya. 

I’m sorry, Yan. Aku lagi sama Papah dan kamu tau-”

“Papah kamu ingin quality time dengan kamu,” lanjut Tian. Ia sudah hafal di luar kepala alasan tersebut karena selalu dikatakan oleh Ria. 

“Kapan kamu mau kenalin aku ke keluarga kamu, terutama Papah kamu?” tanya Tian lagi. 

“Belum tahu,” jawab Ria dengan enggan. Ia memang tidak menginginkan Tian mengetahui identitas sang papah. 

“Aku merasa kamu sengaja gak mau kenalin aku ke Papah kamu. Di setiap kamu kumpul keluarga gak pernah sekalipun kabarin aku.” Tian mengungkapkan hal yang mengganjal di hatinya. 

Ria menyatukan kedua tangannya dan menunjukkan ke Tian sebagai gestur permintaan maaf. “Maaf.” 

“Susah banget ya mau ketemu Papah kamu.”

“Jangankan kamu, aku aja yang anaknya susah banget mau ketemu beliau,” ujar Ria dengan tawa di akhir. Setelah itu terjadi keheningan yang panjang. Mereka kehabisan topik. 

“Tiga hari ke depan ada acara santunan yatim dan dhuafa di panti RA, kan? Kamu diundang gak?” Ria teringat dengan acara yang diadakan oleh yayasannya. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang