32: Keputusan Sepihak

383 24 0
                                    

"Lo dimana, Ria Ananta?" tanya Vera dengan geram melalui sambungan telepon. Yang benar saja, 15 menit lagi orang pusat tiba, tapi Ria belum juga sampai di kantor.

"Gue masih di Sudirman."

"Udah gila lo!"

"Emang," balas Ria spontan.

"Gak gitu maksud gue. Suruh Anton ngebut, Ri. Gue gak tahu mau bikin alasan apa untuk keterlambatan lo," ujar Vera putus asa. Tidak ada yang bisa melawan kekeras kepalaan seorang Ria. Kata dia akan terlambat, maka ia akan terlambat.

Di tengah perjalanan Ria melihat plang brand roti terkenal dengan bentuk baling-baling kipas di tengahnya. Ia meminta Anton untuk melipir sebentar dan membeli beberapa roti untuk tamu dari pusat yang merupakan Dika, tangan kanan papahnya. Maka dari itu ia bisa berlagak santai karena Dika mengenalnya. Ria tidak tahu Dika membawa siapa, yang pasti tamunya adalah Dika.

Ria memasuki toko tersebut dengan pintu yang dibukakan oleh Anton. Bau khas roti yang memanjakan indera penciumannya dan sudah memberikan persepsi bahwa roti di sini pasti enak.

Ddrrtt. Ddrrttt.

"Hallo."

"Ria, kamu di mana? Om sudah di ruang meeting lantai 13," ujar Dika begitu panggilan terhubung.

"Aku masih di Holland pertigaan dekat kantor. Om mau roti apa?"

"Apa saja. Cepetan ya, nanti namamu bisa jelek loh karena terlambat," ujar Dika sekali lagi, mengingatkan Ria bahwa ia harus bergegas kembali ke kantor.

"Ayo, Ria. Lo udah telat 10 menit. Pak Dika sudah di ruang meeting. Lo bener-bener ya bikin orang di lantai 13 spaneng tau gak, bisa-bisanya buat orang pusat nunggu," omel Vera sepanjang jalan ketika Ria tiba di lobby. Perempuan tersebut rela menunggu Ria dengan harap-harap cemas takut Ria tidak kembali ke kantor. Daripada ia menunggu di lantai 13 yang suasananya lebih horor. Seberapapun tinggi jabatan seseorang di anak perusahaan, seolah tak begitu berarti jika orang pusat berkunjung. Memang sedahsyat itu pride karyawan pusat.

"Hallo. Ria sudah datang ya, sedang menuju ruang meeting," beritahu Vera pada seseorang di sana, layaknya ia tamu penting yang kehadirannya harus diumumkan.

"Kenapa pada lebay banget sih? Biasa aja," ujar Ria dengan malas. Orang-orang ini terlalu mendewakan kesan senioritas pada seseorang.

"Selamat siang menjelang sore. Maaf saya terlambat," ujar Ria begitu tiba di ruang meeting yang sesuai dugaannya hanya terdapat Dika seorang.

"Sore, Ria."

"Karena Ria sudah hadir, saya pamit undur diri, Pak. Mohon maaf atas segala kekurangannya." Vera membungkukkan tubuhnya dan keluar dari ruang meeting menyisakan dua insan manusia berbeda generasi.

"Jadi, Pak Dika hadir sebagai utusan orang pusat atau sebagai tangan kanan Papah?" tanya Ria begitu dirinya sudah siap bicara.

"Tangan kanan Tuan."

"Ada masalah?" tanya Ria to the point. Ia mengenal sosok Dika yang tak mungkin berbasa basi sekedar menanyakan kabar Ananta (Anaknya Antara).

"Kamu harus ambil alih kepemimpinan pusat, Ria."

"Sebentar, kenapa aku?" tanya Ria dengan terkejut.

"Karena kamu yang paling siap dibandingkan Rey. Rey masih harus kuliah bukan? Sementara hanya tersisa kamu, Ananta yang berada di Jakarta," ujar Dika menjelaskan pada gadis di hadapannya.

"Memangnya kenapa harus aku yang memimpin perusahaan tersebut? Apakah tidak bisa hanya Om Dika seorang?" tanya Ria kembali. Ia benar-benar terkejut mendengar informasi ini.

"Banyak proyek yang terbengkalai karena tanda tangan Tuan Antara tidak juga turun, sementara Tuan Antara masih belum bisa mengurus pekerjaan hingga saat ini. Memang harus perwakilan dari Ananta yang memiliki akses untuk memberikan stempel tanda tangan yang sudah Tuan buat yang memang hanya bisa diakses oleh Ananta."

"Memangnya Randy kemana?"

Dika menghela napas dan menyiapkan jawaban lain. Ia tahu bahwa tidak mudah meminta gadis di hadapannya untuk turun langsung memimpin perusahaan. "Tuan Antara dan Tuan Randy pergi ke tempat yang sama untuk mengurus beberapa hal, bukan kapasitas saya untuk membicarakan terkait kepergian mereka. Tapi yang pasti, pusat sedang tidak baik-baik saja karena kami butuh tanda tangan Tuan Antara sebagai pemimpin paling tinggi di perusahaan Wira Corporation."

"Kakek kan bisa, kenapa harus aku? Aku harus kerja di Intrafood," balas Ria dengan berbagai alasan yang coba ia kemukakan. Ria tidak mau ke pusat.

"Tuan Wira mengurus perusahaan di sektor selain FMCG. Perusahaan di sektor lain di bawah naungan Wira Corp. juga banyak nona, dan untuk FMCG sendiri memang bukan keahlian Tuan Wira, jadi ia tidak mau mengurusi atau mengambil alih terkait perusahaan di sektor FMCG."

"Apa yang bisa aku lakukan di sana?" Ria harus mengetahui dulu jobdesc yang akan dijalankan.

"Nona mempelajari berkas yang masuk pada ruangan Tuan Antara, di setiap file kerjanya ada semua penjelasannya di laptop yang sudah Tuan siapkan. Nona bisa pelajari semua dari sana dan anda bisa memberikan keputusan apakah mau memberikan tanda tangan atau tidak. Apakah mau menerima perjanjian kontrak tersebut atau tidak dengan alasan-alasan rasional yang sudah dipelajari dari file-file yang sudah Tuan siapkan. Semua keputusan ada di tangan Nona dan jika anda memiliki pertanyaan terkait proyek-proyek yang akan ditandatangani, Nona bisa menghubungi saya atau menghubungi manajer yang bersangkutan. Terkait kehadiran nona tentu saja akan saya sembunyikan, orang-orang hanya tahu bahwa perusahaan diambil alih sementara oleh Ms. Ana," terang Dika panjang sekali yang makin membuat kepala Ria sakit.

"Aku nggak bisa," tolak Ria begitu saja. Ia tengah memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit.

"Nona harus bisa! Ribuan bahkan puluhan ribu karyawan bergantung pada sektor FMCG pusat," ujar Dika dengan sedikit keras.

"Jangan paksa aku, aku takut," balas Ria dengan lirih. Ia meletakkan sikutnya di meja untuk menopang kepalanya yang seolah tertimpa beban berat.

Dika merasa menyesal telah berbicara keras pada Ria. "Maafkan saya Nona, tapi memang ini realita yang harus Nona hadapi bahwa Nona salah satu Ananta yang memang dibayangi oleh tanggung jawab besar perusahaan. Lambat-laun nona akan ambil alih juga perusahaan bukan?"

"Aku lagi sakit, gimana caranya orang sakit bisa memimpin sebuah perusahaan besar?" tanya Ria kembali yang teringat dengan penyakit yang dideritanya yang seringkali membuat pekerjaannya terbengkalai ketika dirinya relaps.

"Nona tidak sendiri. Saya akan tetap berdiri di samping Nona dan akan mengikuti dan mendukung apapun keputusan Nona. Tuan Wira juga berpikiran yang sama, kami berada di sisi Nona dan tidak perlu takut akan hal apapun karena Tuan Wira sudah meyakinkan saya bahwa Nona bisa menjalani ini semua," ujar Dika dengan penuh kesungguhan.

"Bagaimana jika keputusan yang aku ambil justru akan memberikan kerugian pada perusahaan? Aku tidak pernah sekalipun bekerja dan tahu sistem laba di di perusahaan induk. Aku selama ini selalu bekerja di anak perusahaan."

"Segala keputusan yang Nona ambil pasti sudah melalui beberapa pertimbangan dengan ilmu yang anda miliki dengan pengetahuan yang sudah Tuan Antara berikan melalui file-file tersebut. Jadi, kami percayakan apapun keputusan Nona dan jika memang mengalami kerugian semoga tidak berdampak terlalu besar pada perusahaan dan Tuan Wira siap membackup semuanya. Tenang saja Nona, langkah Nona tetap di backup oleh Tuan Wira," ujar Dika kembali meyakinkan.

"Saya benar-benar takut dalam mengambil keputusan. Apakah saya diberikan waktu untuk berpikir?"

"Sayangnya Nona tidak diberikan kesempatan untuk berpikir, karena apapun keputusan Nona, Nona harus menjalani ini semua. Kalau tidak, bisa-bisa perusahaan akan pailit dan tentu akan berpengaruh pada anak-anak perusahaan yang lain."

##################################

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang