57: Penyerangan

277 20 2
                                    

Dua orang berbeda generasi duduk berhadapan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara sedari beberapa menit yang lalu. Mereka saling bertatapan seolah kata dapat terucap dari pandangan tersebut. 

Wira menghela napas jengah melihat kekeraskepalaan cucunya yang tidak juga membuka suara. "Kamu mau berbicara apa?" Ia mengalah dan membuka percakapan di antara mereka. 

Ria tidak langsung menjawab. Ia masih memandang orang tua tersebut dengan tatapan tajam. Jika dari tatapan saja bisa mencabik seseorang, maka Ria dapat melakukannya. 

"Obati dulu lukamu," pinta Wira dengan pelan. Ia tidak kuasa jika memerintah seperti biasanya pada gadis di hadapannya. 

"Ria, anaknya Antara, cucunya Wira." Wira menghentikan perkataannya seolah teringat sesuatu. "Eh cucunya Hartanto, deh," lanjut Wira dengan jenaka. Ia teringat di rumah Hartanto tadi ketika cucunya mengatakan sederet kalimat yang membuatnya kesal. Dia yang berjuang mati-matian membuat hidup Ria aman sentosa dan bergelimang harta, malah Hartanto yang diakuinya sebagai Kakeknya. 

"Mau sampai kapan kamu mendiamkan Kakek, Ana? Paling tidak bersihkan dulu lukamu. Kamu tampak lebih menyeramkan dengan darah di tangan." Wira bergidik ngeri ketika melihat tangan Ria yang terdapat bercak darah. 

Beberapa jam yang lalu ketika Ria berpamitan dengan Hartanto dan mengatakan ada urusan, Ria tidak langsung keluar dari kediaman rumah duka. Langkahnya terhenti karena seseorang menarik rambutnya dengan tiba-tiba. Ria yang tidak siap langsung terjatuh dengan kepala menghantam lantai marmer. Kejadian tersebut sangat kilat dan membuat semua orang tidak bersiap. 

Fikri langsung berlari menghampiri nonanya yang terjatuh tapi kalah cepat dengan Tian yang posisinya lebih dekat dengan Ria. Tian langsung membawa kepala Ria ke dalam dekapannya dan melindungi dengan protektif. Fikri berdiri di hadapan mereka berdua yang terduduk di lantai untuk menghalau wanita tersebut menyerang Ria kembali. 

"Bangsat! Rambut bawa sial! Udah dua kali dijambak begini, memang sebagus itu apa rambut gue sampai dijadikan obyek sasaran penyerangan?" ungkap Ria dengan murka. Kepalanya luar biasa pusing dengan tarikan yang sangat keras terlebih langsung menghantam lantai. 

"Pembunuh! Kamu menghilangkan nyawa suami saya! Lihat apa yang kamu perbuat! Kamu membuat saya kehilangan suami dan ketiga anak saya kehilangan Ayahnya!" teriak wanita tersebut yang sudah dipegangi oleh pengawal Hartanto. 

Ria yang mendengar itu semua ikut tersulut emosinya. Jika Tian tidak mendekap kepalanya dan membuat tubuhnya bersandar penuh pada lelaki tersebut, Ria dapat yakinkan wanita tersebut sudah pingsan karena pukulan yang akan dilayangkan Ria. Tian membisikkan kalimat positif untuk meredakan amarah Ria agar tidak terjadi pertengkaran di sini. 

"Yan, lepas, deh. Kamu gak akan kuat menahan wanita tersebut jika ia mengeluarkan pisau," ujar Ria untuk membuat Tian sedikit menjauh. Insting Ria mengatakan akan terjadi pertumpahan darah, entah darah siapa yang akan tumpah. 

Tian dengan keras kepala tidak mau melepaskan dekapannya dari kepala Ria. Bahkan kedua tangannya yang semula melingkupi kepala Ria, sudah berpindah melingkari pinggang Ria. Terlihat napas wanita tersebut yang mulai tenang dan perlahan pegangan pada pinggangnya mengendur. 

Ria juga ikut mengendurkan pegangan Tian di pinggangnya ketika ia melihat pergerakan tangan wanita tersebut yang berusaha mengeluarkan sesuatu. Sepersekian detik wanita tersebut menerjangnya yang masih terduduk sambil mengacungkan belati yang digunakan Ria kala itu untuk menyerang Hariadi. 

Ria yang sudah menduga hal tersebut mampu menahan ujung belati yang diarahkan tepat pada jantungnya. Ria tidak takut. Bahkan ia bisa melakukan penyerangan balik sebelum Hartanto meneriaki nama wanita tersebut. "Ratih!!" 

Tekanan ujung belati tersebut yang menancap pada tangan Ria semakin kencang. Ia menghadapi Ratih dengan penuh ketenangan dan justru membuat Ratih gemetar ketakutan. Ria berhasil bangkit dengan belati yang masih menancap di tangannya yang berada di depan jantungnya. Darah menetes dan mengotori lantai. 

Ria memandang Ratih dengan tatapan mematikan. Aura kejam Ria keluar seolah siap melakukan pembunuhan lagi untuk kesekian kalinya. Ratih semakin dibuat ketakutan kala Ria tidak merasa kesakitan sedikitpun padahal darahnya sudah menetes dengan banyak di lantai. Bahkan tanpa gentar Ria berjalan mundur menyudutkan Ratih sampai terpentok peti mati Hariadi. 

"Kamu bilang saya pembunuh, kan? Maka akan saya kabulkan. Kamu akan berpulang bersama suamimu yang tidak berguna," ujar Ria dengan suara datarnya seolah tak memiliki perasaan apapun saat ini. 

Dalam sekejap Ria berhasil mengambil alih belati yang tadi digenggamnya dengan erat berakhir dengan menusuk lengan atas Ratih ditandai dengan jeritan wanita tersebut. Semua orang di ruangan tersebut membelalak terkejut melihat kejadian tersebut. 

"Ria!" teriak Hartanto dan Tian secara bersamaan. Mereka seolah tidak mengenali sosok Ria saat ini. Gadis tersebut tidak seperti Ria yang mereka kenal. 

"Jaga ucapan kamu jika tidak mengetahui fakta sebenarnya. Saya tidak segan-segan mewujudkan apa yang kamu tuduhkan pada saya," ujar Ria dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya. 

Ria berhasil ditarik mundur oleh Fikri dan Tian dari hadapan Ratih yang sudah tidak berdaya. Ratih hanya bisa menangis dengan tergugu melihat kekejaman Ria barusan. Seharusnya Ratih sadar jika Ria saja tidak segan menusuk Hariadi sampai lelaki tersebut tumbang, apalagi hanya seonggok Ratih yang lemah itu. 

Tian berhasil menguasai tubuh Ria yang tidak memberontak sedikitpun. Tian membisikkan kata-kata untuk membuat Ria kembali pada sosok malaikatnya. Fikri berdiri menghadap Ria dan berusaha menutup wajah sang nona yang mulai mendapat atensi dan jepretan dari kamera para tamu yang hadir dan melihat. 

Ria membuka matanya dan langsung terpaku dengan Fikri yang menatapnya dengan lekat. Seolah mampu memahami keinginan sang nona dari tatapan tersebut, Fikri mengeluarkan masker dari kantong celananya dan bergegas memakaikan pada sang nona. Ria kembali berbicara melalui tatapan bahwa ia ingin segera pergi dari sini yang langsung dipahami oleh Fikri. 

"Nona ingin segera pergi dari sini," ujar Fikri memecah keheningan di antara Ria dan Tian. 

Tian tidak rela melepaskan dekapannya dari Ria. Tapi melihat ketegasan yang diperlihatkan Fikri bahwa Tian harus segera melepaskan sang nona. Maka Tian dengan terpaksa melepaskan dekapan tersebut. "I'll go," pamit Ria dan diangguki oleh Tian. 

Tian melihat kepergian Ria dengan dikelilingi para pengawalnya karena banyak dari para tamu yang terang-terangan merekam kejadian barusan. Tian menghubungi seseorang melalui sambungan telepon. "Langsung take down apapun video dan foto saya dengan Ria yang beredar."

Tian yakin beritanya yang berusaha melindungi Ria dan aksi anarkis Ria barusan dapat menjadi buah bibir di masyarakat jika sampai beredar. Bahkan dapat menjadi boomerang bagi keduanya, terlebih kondisi Tian yang sebentar lagi akan mengadakan konser dengan GMC. Ia tidak mau hal ini menghambat dan mengacaukan semuanya. Salahnya juga yang memilih terlibat dan berusaha melindungi Ria. Tck, tidak perlu ada yang disesali seharusnya, Christian Hartanto!

Kembali pada kondisi Ria yang saat ini sudah mau diobati luka di tangannya. Fikri dengan cekatan mengobati luka di tangan Ria. "Saya panggilkan dokter terlebih dahulu, Nona. Karena lukanya cukup lebar dan harus dijahit," ungkap Fikri setelah selesai membalut tangan Ria dengan perban. 

"Gak usah!" sentak Ria yang tidak didengar oleh Fikri. Lelaki tersebut tetap mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. 

"Gak usah, Fikri! Biar saya yang ke rumah sakit sendiri. Saya harus ke dokter spesialis kulit karena lukanya terjadi berulang kali di tempat yang sama." 

Fikri mematikan sambungan teleponnya setelah mendengar perkataan sang nona. "Baik, Nona." Fikri meninggalkan kedua orang tersebut yang sepertinya akan melakukan perbincangan serius yang berujung pertengkaran. 

##########################

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang