3: Gejala

1.3K 67 0
                                    

"MRT or Commuter line?" tanya Ria begitu mereka sudah berada di pinggir jalan.

"Gak tahu. Ikut mau kamu aja." Tian minim sekali pergerakan sedari tadi.

"Kamu jangan diam-diam aja dong Yan. Tau gitu mending di apartemen aja." Ria menghentikan langkahnya. Ia kesal dengan Tian yang tidak responsif.

"Aku bingung, Ri. Yaudah cari yang nggak ramai aja biar aku nggak ketahuan fans deh." Tian mengusulkan menghindari kerumunan agar keberadaannya tidak terdeteksi. Nasib superstar yang sulit untuk kemanapun.

"MRT aja kalau begitu." Ria berjalan menuju stasiun MRT yang letaknya tak jauh dari kawasan Rajawali. Memang benar-benar pusat perekonomian negara, karena segala fasilitas transportasi umum sudah sangat terjamin di wilayah ini.

"Nanti kita berhenti di stasiun secara acak aja ya. Aku nggak punya tujuan." Mereka berjalan tanpa perencanaan. Bukan tipikal Ria yang hidupnya selalu tersusun dengan baik.

"Okay. Aku yang tentukan ya." Tian bersemangat sekali, karena sejauh ini tak ada orang yang mengenalinya.

"Tumben mau lepas masker," ujar Ria kala melihat Tian melepas maskernya.

"Pengap juga. Enakan kita jalan ke tempat terpencil gitu deh Ri yang nggak ramai," ujar Tian dengan nada merengek di hadapan Ria.

"Sabar, ya. Ini kan pilihan hidup kamu yang mau jadi artis." Menggenggam tangan Tian untuk menenangkan. Ria tahu betapa beratnya hidup penuh dengan frame.

"Kenapa artis nggak diperlakukan selayaknya manusia normal si? Kita kan tetap manusia biasa yang ingin kebebasan." Tian kembali melayangkan keluhan.

"Ada harga yang harus dibayar untuk semua yang didapat saat ini, right?" Ria tersenyum menenangkan.

'Dan sudah begitu banyak yang aku korbankan untuk terus bisa bersamamu hingga detik ini,' gumam Ria dalam hati.

"Turun di sini aja. Hatiku memilih berhenti di sini." Sisi melankolis Tian mulai muncul. Ria memutar bola matanya malas. Jangan sampai jadi alay nih orang.

Cukup banyak orang yang ikut turun di stasiun yang sama. Ria melihat sekeliling melalui sudut matanya.

"Kenapa?" Tian merasakan genggaman di tangannya semakin erat.

"Nothing." Mereka melanjutkan perjalanan mengeksplor daerah yang dipilih secara random oleh Tian.

'Apa Ria sadar ya diikuti,' ujar Tian dalam hati begitu menyadari pengawalnya mengikuti terlalu dekat. Tian memutuskan untuk membawa pengawal pribadinya. Ia merasa tak aman jika hanya berdua Ria di luar. Takut jika ada penggemar yang bertindak anarkis dan ia tak bisa melindungi Ria karena fokusnya akan terbagi. Keselamatan dan keamanan Ria adalah nomor satu. Begitu pikirnya.

"Aku mau beli kentang sama cimol itu, Yan." Menarik tangan Tian menuju penjual yang terlihat di depan sana.

"Mau satu bungkus yang besar ya Mas, campur cimol dan kentangnya, jangan pakai bumbu pedas," ujar Ria dengan semangat begitu tiba di depan penjual tersebut.

"Siap Mba." Penjual tersebut menyiapkan pesanan Ria, dan Ria kembali melihat sekeliling mencari jajanan yang sekiranya enak untuk dilalui.

"Jadi sepuluh ribu Mba," ujar penjual tersebut dan memberi pesanan Ria yang sudah jadi.

"Ambil aja kembaliannya. Semoga laris dan berkah, Mas. Salam untuk keluarga di rumah." Ria memberi uang 100 ribu dan beberapa patah kata seraya tersenyum hangat.

"Terima kasih banyak Mba, sehat selalu bersama Mas nya."

"Kenapa kamu kasih semua uangnya?" protes Tian ketika mereka sudah berjalan menjauh dari penjual tersebut.

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang