69: Ibu

246 19 3
                                    

Beberapa tahun silam.

"Bu," panggil Ria setibanya ia di rumah. Melihat tidak ada aktivitas satupun dari pintu depan, ia berjalan menuju halaman belakang. Barangkali sang ibu ada di sana.

"Ampun, Nyonya." Terdengar suara seorang wanita meminta ampun. Ria bergegas menghampiri tempat tersebut.

Ria tersentak melihat kejadian di hadapannya. Ia tidak berani menampakkan diri. Memilih bersembunyi di balik pintu menuju halaman belakang.

"Kenapa kamu membangkang, Emi?" tanya Lidya-ibunya Ria dengan amarah yang tertahan.

"Saya tidak bermaksud, Nyonya," balas Emi dengan raut kesakitan yang tergambar jelas di wajahnya.

"Lalu maksud kamu apa? Ingin menggantikan posisi saya sebagai Nyonya Besar di rumah ini? Iya?" Lidya menarik rambu Emi hingga kepala wanita tersebut mendongak ke atas.

Emi hanya mampu menggelengkan kepala. Tarikan di rambutnya sangat menyakitkan.

"Jawab!" bentak Lidya yang semakin membuat tubuh Emi gemetar ketakutan.

Ria yang bersembunyi di balik pintu juga terkejut mendengar bentakan tersebut. Mengapa ibunya sangat kasar?

"Sa-ya."

"Mana barang saya?" Lidya meminta barang yang entah apa kepada pengawal pribadinya.

Ria tidak begitu terlihat jelas barang tersebut karena terhalang oleh tubuh Lidya yang memunggunginya. Ketika tengah memfokuskan pandangannya, Ria kembali dikejutkan dengan jeritan penuh kesakitan yang berasal dari Emi.

Ria masih belum memahami apa yang dilakukan sang ibu terhadap asisten pribadinya. Lidya beranjak dari hadapan Emi dan mencuci tangannya yang dilumuri darah.

Darah? Ya Tuhan! Ria berjengit tatkala melihat Emi mulai kehilangan napasnya dalam posisi duduk. Mata Emi melotot ke arah Ria, seolah menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikan.

Emi menggerakkan mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa. Perlahan tubuhnya tumbang dengan kondisi tangan terikat dan sebilah pisau yang menancap tepat di jantungnya.

Ria tidak tahu harus berbuat apa, ketika perlahan napas Emi terhenti dengan kondisi mata masih melihat tepat ke arahnya. Sebelum sang ibu mengetahui keberadaannya, Ria berlari melalui pintu samping dekat dapur yang mengarah langsung ke bagasi.

Ria berlari menjauhi rumah tersebut. Ia tidak menyangka harus melihat kejadian itu tepat di depan matanya. Ria sempat melihat raut wajah sang ibu yang tidak memiliki ekspresi sedikitpun. Padahal ia baru saja menghabisi nyawa seseorang.

Ya Tuhan, Ria kecil ketakutan. Ia berlari tak tentu arah. Ia hanya ingin pergi menjauh dari rumah untuk saat ini.

Entah bagaimana caranya, ia tiba di depan sebuah gereja. Gereja yang biasa didatanginya ketika beribadah bersama sang ibu. Tanpa pikir panjang, Ria melangkahkan kaki ke dalam.

Ria bersimpuh di depan altar. Ia menumpahkan semua kekalutan yang sedari tadi coba ditahan.

"Tuhan, Ria takut. Mengapa Ibu terlihat jahat sekali?" tanya Ria dengan air mata yang terus berlinang.

"Apakah Ibu sudah lama melakukan hal tersebut? Apakah Ibu tidak takut jika Tuhan marah? Pastor bilang, tidak boleh membunuh dan harus mengasihi sesama. Tapi Ibu." Perkataan Ria terhenti. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ria hanya gadis 6 tahun yang tidak mengerti tentang dunia orang dewasa.

"Tuhan, Ria harus apa? Apakah diam saja atau bilang pada Papah?" tanya Ria dengan polos. Pandangannya tertuju pada altar.

"Pulang, Nak. Kamu tidak perlu takut. Tuhan akan selalu bersamamu." Suara yang entah dari mana terdengar menyahuti kekalutannya. Seketika Ria menjadi tenang. Seolah ia mendapat jawaban untuk langkah selanjutnya.

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang