"Bapak Hartanto yang terhormat!" ujar Ria begitu tiba di meja makan yang berisi Hartanto. Hartanto tidak bergeming sedikitpun, ia berusaha menjaga keterkejutannya melihat Ria berada di hadapannya saat ini.
"Lihat nih, kelakuan si Botak gak beradab!" ujar Ria dan menunjukkan lebam di wajah bagian kiri. Hartanto tetap bertahan pada keterdiamannya.
"Opah gak sedih atau marah atau gimana kek melihat aku luka kek gini?" Ria tak habis dengan respon Hartanto.
"Opah!!!" Ria meneriaki Hartanto yang masih bergeming.
Hartanto menghela napas dan menghubungi seseorang melalui ponselnya. "Bawa kotak P3K dan si Mamat ke sini!" titah Hartanto.
Ria menarik kursi di hadapan Hartanto dan mendudukan dirinya. Tak berselang lama, Rizal datang membawa sesuai yang diperintahkan Hartanto. Ria memperhatikan Rizal dengan seksama hingga membuatnya salah tingkah dan gugup.
Ria mengambil kotak tersebut tanpa persetujuan dari siapa pun. Mengapa mereka lambat sekali melakukan ini semua? Membuka kotak tersebut dan mengambil kapas beserta salep lainnya. Ria mulai mengobati bekas lukanya sendirian. "Nih kalo bokap gue tahu anaknya babak belur begini, langsung ditembak mati kali yang bikin gue luka," ujar Ria dengan menahan kesal. Wajahnya tidak sempurna lagi.
"Gak ada dokter estetika pula di sini. Kapan pulangnya, sih? Arrgghh geram sekali aku!" Ria menggebrak meja di hadapannya membuat orang yang tengah memperhatikannya kaget.
"Dengarkan! Gak ada lagi pemerasan terhadap warga sini! Gak ada lagi pemukulan dan segala tindak kekerasan terhadap anak-anak!" ujar Ria dengan nada yang tak bisa dibantah.
"Gak bisa! Mereka harus memberikan itu karena saya yang membantu mereka dari segi keuangan dan tempat tinggal." Hartanto menyanggah perkataan Ria.
"Salah siapa mau datang gak berkabar dulu? Mereka tidak bersiap untuk kehadiran Anda, Pak Hartanto! Jadi, mereka tidak bisa disalahkan seperti itu." Ria mengubah suasana pembicaraan menjadi serius. Ia membawa kepentingan orang di Pulau Biru terhadap Tuan HT Si Saudagar.
"Masa saya mau datang ke rumah sendiri harus berkabar? Di mana logika kamu Ria Ananta?"
"Tapi tidak dengan kekerasan Bapak Hartanto! Anda bayangkan, anak sekecil itu tahu apa? Mereka tidak tahu salah mereka apa tapi justru mereka malah menerima kekerasan! Di mana kewarasan anak buah anda, Pak?"
"Jika mereka tidak suka, mereka bebas untuk angkat kaki dari pulau ini. Selama ini mereka tidak protes apapun."
Ria geram sekali. Ia meremas kotak P3K di hadapannya. Mengapa orang tua di hadapannya terus menjawab perkataannya?
"Karena mereka tidak berkuasa seperti anda dan mereka tidak diberi kesempatan untuk bicara dengan anda! Saya hanya meminta dua hal itu saja, mengapa sulit sekali?!" tanya Ria diakhiri nada yang meninggi.
Hartanto menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau mengikuti perkataan Ria. "Biarkan saya mengurus apa yang di bawah kendali saya, Ria. Kamu cukup diam dan tetap pada porsimu!" balas Hartanto yang cukup membuat Ria tersentak.
Ria terdiam. Kehabisan kata-kata. Menghembuskan napas dan memalingkan wajah ke arah lain. Di samping kiri Ria ada balkon yang langsung terhubung dengan laut. Meja makan ini memang terletak di tengah ruangan dan seolah menjadi tempat utama untuk berkumpul.
Hartanto memperhatikan Ria yang sepertinya sakit hati dengan perkataannya, tapi ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Opung di ruang makan lantai dua," ujar Hartanto pada seseorang di ujung telepon sana.
Terdengar langkah kaki yang menuju lantai dua. Rumah ini terbuat dari kayu sehingga langkah kaki yang terdengar seolah sangat nyaring.
"Opung, aku bawa kawan di luar GMC," ujar Tian dengan semangat padahal ia masih berada di ujung tangga. Ria yang mendengar suara tersebut menolehkan kepala ke sebelah kanan tempat tangga berada dan melihat Tian berjalan diikuti, sebentar, Lita? Wah, luar biasa. Kejutan yang benar-benar di luar dugaan.
Tian yang melihat keberadaan Ria tengah duduk di hadapan Hartanto, sangat terkejut. Bagaimana ceritanya bisa ada Ria di sini? Padahal ia tidak mengabari Ria sedikitpun karena gadis tersebut yang menghilang.
Rizal dan Hartanto juga sedikit terkejut tatkala Tian membawa perempuan lain sementara ada Ria di sini. Mereka rasa akan ada drama yang asik setelah ini.
"Hai. Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Tian setelah mendudukkan dirinya di samping Ria. Ia tak jadi menghampiri dan menyalami opung.
"Kenapa? Gak senang aku ada di sini?" balas Ria dengan pertanyaan. Yang benar saja. Kekesalannya terhadap si Mamat belum usai, dan harus dihadapkan lagi dengan kedatangan wanita yang entah bagaimana caranya bisa sampai di sini.
"Bukan gitu, Ri. Aku pikir kamu lagi keluar kota ada kerjaan, tapi aku senang kamu di sini juga."
Ria hanya membalas perkataan Tian dengan senyuman miring. "Kok ceweknya gak dikenalin? Kasian Opung dan Rizal sudah menunggu hal tersebut dari tadi," ujar Ria kembali membawa topik Lita yang hanya bisa berdiri dengan kaku sedari tadi.
"Eh, oh. Iya, Opung kenalin ini GMC." Tian mempersilakan GMC satu-satu bersalaman dan berkenalan dengan Tuan Besar Hartanto. GMC tahu sosok Hartanto yang merajai bisnis tembakau dan pemilik bank terbesar di seantero negara. Hartanto juga besar di sektor FMCG. Mereka tahu Christian berasal dari kaum sendok emas sedari awal, dan mereka segan untuk berkenalan dan dekat dengan seorang Hartanto. Wibawa orang tua tersebut benar-benar luar biasa. Dan terlihat bahwa ia memang sosok yang disegani dan sulit untuk didekati.
"Hallo, Opah. Saya Lita, temannya Tian dan GMC juga," sapa Lita sebagai orang terakhir yang memperkenalkan diri. Hartanto tak bereaksi apapun. Berbeda ketika GMC yang memperkenalkan diri.
"Panggil saya Opung seperti yang lain!" titah Hartanto. Ia tak suka dipanggil Opah.
Terdengar getaran ponsel di tengah kesunyian ruangan. Rizal mengambil ponsel dari sakunya dan memilih melipir sedikit untuk mengangkat panggilan tersebut. "Nona," interupsi Rizal dan memberikan ponselnya pada Ria. GMC dan Lita masih setia berdiri karena belum diizinkan Hartanto untuk duduk. Tian mau tidak mau mengikuti mereka juga yang masih berdiri. Hanya Ria dan Hartanto yang duduk di meja makan tersebut dan mereka seolah menjadi penonton kedua orang tersebut.
"Langsung masuk aja. Dari pintu belakang, lurus ketemu ruang keluarga dan ada tangga, kamu naik. Saya di situ." Tak berselang lama terdengar langkah kaki yang sedang menaiki tangga. Muncul sosok Anton beserta tiga pengawal Ria yang lain membawa pesanan yang Ria minta. Anton dibuat bingung ketika melihat banyak orang yang berdiri mengelilingi meja makan.
"Selamat pagi, Pak. Saya membawa pesanan Nona." Anton dan tiga pengawal meletakkan seserahan di atas meja. Anton memang selalu tahu keinginan nonanya tanpa perlu Ria bicara sedikitpun.
Ria bangkit dari duduknya dan berujar, "Sesuai yang anda pinta pada warga sini, Bapak Hartanto. Saya pamit undur diri. Sepertinya kehadiran saya di sini tidak diinginkan. Selamat bersenang-senang semua." Ria memberikan senyum terbaiknya pada seluruh orang yang ada di ruangan ini.
Ria melangkahkan kakinya keluar dari ruang makan tersebut. "Siapa yang mengizinkan kamu pergi?" Hartanto menghentikan langkah kakinya dengan pertanyaan.
"Siapa anda melarang saya?" tanya Ria balik tanpa membalikkan tubuhnya.
Tak ada balasan dari Hartanto. Orang tua tersebut hanya bisa terdiam. "Kiranya seperti itu rasanya saya ketika anda meminta saya untuk sesuai porsinya. Sampai jumpa." Ria mengangkat tangan kirinya pertanda salam perpisahan. Rasanya napasnya sudah sangat berat berada di sana.
"Ria! Ria!" Panggilan tersebut tak digubrisnya dan Ria memilih untuk berlari menuruni tangga. Hingga di ujung anak tangga terakhir ia terjatuh dan lututnya menghantam lantai dengan keras. Tak ia pedulikan hal tersebut, ia kembali bangkit dan melangkahkan kakinya keluar dari rumah sialan ini.
######################
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Woman
ChickLitRia Ananta. Ananta itu kepanjangan dari Anaknya Antara, papahnya Ria. Ia sengaja diberi nama itu untuk menutupi identitas aslinya yang merupakan anak seorang konglomerat kaya raya tujuh turunan. Padahal sudah terlihat jelas dari pembawaannya bak pu...