30: Berantem

345 31 0
                                    

“Ria, I’m so sorry,” ujar Tian di belakang. Ia berdiri tepat di belakang Ria yang tengah duduk di sebuah ayunan yang menghadap ke arah laut. 

Tak ada tanggapan yang berarti dari Ria. Ia tetap bungkam. Tian memutuskan melangkah ke depan dan berdiri di hadapan Ria. Tatapan Ria kosong seolah tak menyadari kehadirannya di sini. 

Bersimpuh di hadapannya dan membuat wajahnya sejajar dengan Ria. Menyingkap surai yang menutup wajah Ria. Tian tidak senang jika ada sesuatu yang menghalangi wajah cantik Ria. 

Begitu tangan Tian menyentuh wajah Ria, gadis tersebut seolah kembali menginjak bumi dan matanya langsung terkunci dengan iris Tian yang hitam pekat. Air mata tak terbendung dan jatuh begitu saja. Dirinya sangat kecewa dengan tindakan Tian barusan. Entah apapun alasannya, Ria benar-benar terluka. 

“Maafkan aku,” ujar Tian sekali lagi dan menggenggam tangan Ria dengan erat. 

Ria tetap terdiam. Ia memilih memejamkan mata untuk meredakan emosinya dan mampu berbicara dengan sosok di depannya. Kesunyian melingkupi mereka berdua dengan posisi yang sama. Helaian angin yang menenangkan siapapun seolah memeluk mereka berdua agar meredakan emosi yang membumbung tinggi. 

“Kamu kalau mau sama dia, silakan saja, Yan. Aku gak pernah memaksamu untuk tetap tinggal.” Kalimat yang terucap dari mulut Ria membuat Tian benar-benar tidak terima. Ia menggelengkan kepalanya kuat. 

Please, jangan bicara seperti itu, Ri. Aku gak mau pergi dan berpaling dari kamu,” balas Tian penuh keyakinan. 

Ria memandangnya dengan datar. “Believe me, Ria.” Tian kembali meyakinkan. 

“Lantas, itu apa? Kamu  bawa dia ke hadapan Opah sedangkan aku  tidak ada kabar beberapa minggu ini. Aku tahu, Yan, kamu bosan dengan aku yang suka menghilang dalam jangka waktu lama. Aku tahu kamu butuh sosok yang selalu ada dan bisa menemani kamu dalam kondisi apapun. Sementara aku gak bisa. Aku tahu, Yan,” ucap Ria lebih panjang diiringi tirta yang mengalir dari mata yang biasa memancarkan keteduhan. 

No, no. Aku gak pernah berpikiran seperti itu. Mau bagaimanapun kamu, aku sudah memutuskan kamu sebagai rumahku, Ri. Aku bisa suruh dia pulang detik ini juga untuk meyakinkan kamu bahwa aku benar-benar tidak ada hubungan apapun dengannya,” ujar Tian dengan kesungguhan dan bersiap untuk kembali ke villa opung  tapi niatnya tertahan oleh tangan Ria yang menggenggamnya semakin erat. 

“Kamu tahu, dia memang sengaja berusaha menarik atensi kamu. Seharusnya dari sana kamu sudah sadar bahwa tamu tidak akan masuk jika pemilik rumah tidak membukakan pintu. Karena kamu yang sudah mengizinkannya masuk, biarkan ia berkunjung dulu. Tinggal bagaimana kamu bisa menjaga eksistensi aku di rumah kamu.” 

“Ria, jangan begini. Aku takut,” ujar Tian dengan putus asa. Ria dengan kemarahannya bisa menjadi boomerang bagi siapapun karena rumitnya cara berpikir Ria. 

“Apa yang perlu ditakutkan? Kamu bisa mencari wanita lain-” 

“Nggak akan ada perempuan lain yang bisa jadi rumah dan segalanya untukku. Nggak akan ada yang lain selain kamu, My boo.

****

“Opah tahu gak,” 

“Nggak,” jawab Hartanto begitu saja tanpa membiarkan lawan bicaranya menyelesaikan terlebih dahulu. 

“Mukul orang tua dosa gak, sih?” tanya orang di hadapannya dengan mengangkat gelas wine sejajar wajahnya. 

“Kamu mau pukul saya pakai gelas itu?” tanya Hartanto dengan penuh antisipasi. Perempuan di hadapannya tidak pernah main-main dengan perkataannya. 

“Wah, Opah baru saja memberikan aku ide untuk melempar gelas ini.”

“Ria!” sentak Hartanto untuk menghentikan segala niat yang ada di kepala gadis tersebut. 

Meletakkan gelas tersebut dengan kencang ke atas meja. “Makanya dengar dulu orang bicara! Opah dari tadi bikin aku emosi ya!” ucap Ria dengan oktaf suara yang meningkat. 

Interaksi mereka tak luput dari orang yang memperhatikan dengan berbagai reaksi. Mereka benar-benar seolah diperlihatkan sosok lain dari seorang Ria Ananta. Sosok yang selama ini mereka lihat adalah gadis cantik lemah lembut  dan penuh sopan santun, bahkan menaikkan oktaf suaranya saja hampir tidak pernah.

“Ya sudah, bicara.” 

“Gak jadi! Udah gak mood. Nyebelin banget sih,” balas Ria dengan geregetan. 

“Masih muda kok marah terus kerjaannya,” ujar Hartanto dengan nada meremehkan.

“Sudah tua kok masih aja nyebelin, bukannya tobat!” balas Ria tak mau kalah. 

“Tuan.” “Nona.” Kata tersebut terucap secara bersamaan ketika Ria menyelesaikan kalimat balasannya kepada Hartanto. Ada yang memanggil untuk menghentikan kalimat Ria. Anton dan Rizal tahu bahwa Hartanto dan Ria tidak akan berhenti untuk saling melempar ejekan.

Padahal itu sudah menjadi hal yang biasa bagi keduanya, tapi tidak dengan orang sekitar yang tidak tahu bagaimana cara mereka berinteraksi. Pasti mereka menyalahkan Ria yang seperti tak punya sopan santun terhadap Hartanto, orang yang sangat jauh  jarak umurnya dengan Ria. 

“Ish, jadi aku kan yang kena.” Ria bersedekap memandang penuh kekesalan pada sosok di hadapannya. Hartanto yang dipandangi seperti itu hanya memberikan senyum mengejek. 

Dua jam yang lalu setelah adegan dramanya dengan Tian di pinggir laut, ia memilih untuk kembali ke villa Hartanto untuk bertukar sapa kembali dengan GMC yang tadi ia tinggalkan begitu saja. Bagaimanapun mereka sudah menjadi teman, kan? Tian masih ia diamkan dan Ria tak mempedulikan eksistensinya.

Entah bagaimana ceritanya ia malah duduk di hadapan Hartanto bukan bergabung dengan GMC yang sedang membuat makanan. Dirinya tidak tahan untuk tidak mengganggu orang tua tersebut yang sedari tadi diam saja tidak ada yang mengajak bicara. Mungkin aura Hartanto yang terkesan sulit didekati dan siapapun segan jika harus memulai pembicaraan terlebih dahulu. 

“Kalau aku lompat ke laut, langsung mati gak?” Pertanyaan Ria barusan langsung menghentikan seluruh aktivitas tiap manusia yang berada di beranda yang berada tepat di hadapan lautan. 

Anton dan Billy bergegas berdiri di kanan kiri Ria. Menghalanginya untuk bisa berpindah tempat sejengkal pun. “Apaan sih, jangan halangi aku mau lihat laut, dong,” ujar Ria dan mendorong Billy untuk bergeser dari sisi kirinya. 

“Tidak, Nona.” Billy akan keras kepala untuk saat ini. Biarkan saja jika ia dianggap membangkang terhadap nonanya. 

“Ish.” Ria memilih melihat ke arah GMC yang juga ikut memandangnya dengan berbagai reaksi. Seolah baru pertama kali melihat Ria yang seperti itu. Tapi memang baru pertama kali melihat sisi di luar persona yang ditunjukkan selama ini. 

“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Ria pada mereka dan dijawab langsung dengan gelengan kepala secara serentak. 

“Nona sadar, tadi bicara apa?” tanya Anton memastikan dan dibalas gelengan kepala dari nonanya. “Enggak, memang aku bicara apa?” Tak ada yang berani menjawab. Mereka membiarkan pertanyaan Ria berlalu begitu saja. 

Puluhan kali melihat nonanya relaps membuat Anton dan Billy paham jika Ria sudah menyuarakan isi kepalanya yang menjurus ke arah percobaan bunuh diri, maka mereka harus siaga di samping Ria untuk menahan isi pikiran nonanya menjadi tindakan yang tidak pernah mereka sangka.

Pernah beberapa kali mereka lengah dan perkataan Ria beberapa menit yang lalu terwujud di hadapan kedua mata mereka. Terutama Anton yang selalu berada di samping Ria, sudah bisa merasakan jika Ria mulai menjurus ke arah sana, ia akan bertindak protektif dan seberusaha mungkin menjauhkan Ria dari berbagai stressor yang mampu menyebabkannya relaps. 

“Kamu belum sembuh?” tanya Hartanto begitu melihat gelagat Ria yang masih sama ketika mereka berada di rumah sakit kala itu. 

“Memang tidak pernah sembuh,” balas Ria dengan penuh senyum kepasrahan. 

#######################

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang