76: Sorry

200 26 2
                                    

"Boo," panggil Tian dari arah pintu masuk backstage GMC. (Read : Bhuu, bukan bu Ibu)

Ria membalikkan tubuh, menghadap sepenuhnya ke arah GMC yang berdatangan dalam posisi berbaris. Pandangan Ria langsung terfokus pada seseorang yang menjadi alasannya mengendarai mobil seperti orang kesetanan dari California menuju LA. 

"Thank God, you save him," ucap Ria penuh syukur. Ia tidak melihat luka sedikitpun di tubuh Samuel dan lelaki tersebut tampak baik-baik saja. 

"Kenapa, Boo?" tanya Tian yang sudah berdiri di hadapannya, menutupi pandangan Ria ke arah yang lain. 

Mata Ria langsung berkaca begitu melihat pandangan teduh dari lelaki di hadapannya. Tanpa pikir panjang, Ria menubrukkan tubuhnya pada dada bidang Tian yang tengah mengenakan sweater coklat dengan wangi khas. 

"Takut," ungkap Ria tidak begitu jelas karena wajahnya yang terbenam sepenuhnya di dada Tian. 

"Takut kenapa?" 

"Kamu ninggalin aku.” Terdengar kekehan setelah kalimat tersebut terucap. 

Tian membawa Ria duduk di sofa dan melepaskan sejenak pelukan mereka. Ia menatap Ria yang wajahnya tertutup masker dengan seksama. Tian menyadari ada hal yang mengganggu gadisnya. Kalau tidak, mana mungkin Ria mau mendatanginya ke tempat kerjanya yang sangat berisiko. 

“Ada apa? Jangan takut, ada aku dan GMC yang lain di sini,” ujar Tian meyakinkan Ria untuk menyampaikan keresahannya.

Pandangan Ria tidak fokus ke satu titik. Bola matanya melihat sekeliling dan berpindah dengan sangat cepat. Ria tidak berada di tempat. “Boo,” panggil Tian dengan cemas. Kejadian ini mengingatkannya pada kondisi ketika mereka main keluar dan berujung Ria tak sadarkan diri dan dijemput Randy. 

“Ria! Sadar, Boo. Jangan gini,” kata Tian dengan menggerakkan tubuh bagian atas Ria. 

Tak berselang lama, tangis Ria pecah. Ia menarik rambutnya sendiri dengan kencang dan tak berperasaan. Tian sangat panik, sungguh. Ia tidak pernah menghadapi Ria yang seperti ini. 

Januar dengan cepat meminta seluruh staf untuk meninggalkan ruangan. Biarkan kejadian ini menjadi privasi Tian dan GMC. Mereka tidak mau ada orang lain yang terlibat dan mengetahui kondisi Ria seperti ini.

Julio meminta Tian untuk pindah tempat duduk dan ia yang menggantikan posisinya di samping Ria. Septa ikut mendudukkan tubuhnya di sisi Ria yang lain. Menarik Ria ke dalam dekapannya dan memberikan tepukan di punggung Ria dengan perlahan. 

“Genggam tangannya, Bang,” titah Julio yang langsung dilakukan oleh Septa. Septa menggosok kedua tangannya, kemudian menggenggam tangan Ria, berusaha menyalurkan rasa hangat dari telapak tangannya. 

Tangisan Ria masih sama seperti tadi, rintihan kesakitan. Tubuhnya bergetar hebat akibat tangisan tersebut. “Apa yang dirasa, Ria?” tanya Julio perlahan. Masih terus menepuk dan mengusap punggung Ria secara teratur. 

“Sakit, takut, marah,” ungkap Ria dengan terbata.

“Takut kenapa? Ada yang mengancam Ria?” Tak ada jawaban. 

“Ssst, tenang, tenang. Gak ada yang perlu ditakutkan. Banyak yang sayang Ria di sini. Ria harus kuat dan bertahan paling tidak demi mereka,” kata Julio dengan suaranya yang lembut. 

Perlahan tubuh Ria mulai tenang. Sisa tangisnya masih terdengar memenuhi ruangan yang sangat sunyi, berbanding terbalik dengan suasana di luar yang sangat ramai. GMC yang lain memperhatikan dengan harap-harap cemas. Mereka tidak mengerti situasi apa yang tengah dihadapi. 

“Tenang, tenang. Kuasai diri Ria. Tenang, Ria tidak sendiri,” bisik Julio tepat di telinga Ria untuk membuat gadis tersebut kembali tenang. 

Septa telah menghentikan genggaman tangannya di tangan Ria. Ia hanya mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat yang coba Julio sampaikan pada gadis dalam pelukannya. 

Everything’s all right?” tanya Januar ketika suasana di sofa sudah sangat tenang. Tidak seperti saat mereka memasuki restroom.

Julio menganggukan kepalanya. Tapi Ria masih belum mau membuka matanya. Julio membiarkan hal tersebut karena butuh waktu untuk kembali ke saat ini. 

“Apa yang terjadi?” tanya Jimmy mewakili pertanyaan GMC yang lain. 

“Gue gak begitu tahu apa yang dia hadapi, yang pasti ada satu memori masa lalu yang membuatnya takut dan kesakitan seperti tadi.” 

“Yang tadi dilakukan gue dan Bang Septa, salah satu teknik untuk grounding yang berlaku di diri gue sendiri. Gue menemukan teknik tersebut dengan Bang Septa, ketika gue lagi tenggelam dalam ingatan masa lalu yang menyeramkan dan membuat gue kurang lebih bereaksi seperti Ria tadi,” ungkap Julio yang sepertinya masih belum dipahami oleh member lain. 

“Gue pengidap *PTSD, kan? Ingat gak kalian? Dan sering mengalami kejadian tersebut, hidup dalam pikiran dan ingatan masa lalu membuat tubuh gue seolah mereka ulang suasana ketika kejadian tersebut terjadi. Ketakutannya, ketidakberdayaannya dan semua perasaan yang terjadi pada masa itu seolah terulang kembali di masa sekarang, menyebabkan gue tidak hidup pada waktu ini, detik ini,” lanjut Julio menjelaskan kondisinya kala itu. 

“Salah satu cara untuk membuat seseorang kembali ke detik ini dengan grounding. Grounding setiap orang berbeda-beda, yang menjadi fokusnya adalah mampu mendistraksi pikiran orang tersebut yang tengah tenggelam dalam kubangan memori dan perlahan membawanya sadar, bahwa dia tidak hidup di dalam memori tersebut. Dia hidup di saat ini, detik ini juga.” Penjelasan Julio mulai ditangkap oleh member yang lain karena terlihat mereka menganggukan kepala. 

“Ada orang yang bisa dikerasin ketika itu terjadi, ada yang tidak. Tadi Tian terbawa panik dan bingung sehingga reaksi kamu cenderung keras. Setelah dikerasin, apakah Ria membaik? Tidak, kan? Yang ada dia malah tambah takut. Maka dari itu gue dan Bang Septa yang pernah berada di situasi tersebut, berinisiatif untuk mengambil alih.” 

“Reno bilang anak buahnya sudah menyentuh kalian. Hal itu membuat aku langsung mengendarai mobil dari California ke LA sendirian dengan kebut-kebutan,” ungkap Ria yang sudah membuka matanya dan perlahan bangkit dari dekapan Julio. 

“Menyentuh di sini adalah menyakiti. Aku takut, karena kalian yang berteman denganku malah kalian yang mendapat celaka akibat perbuatan Reno.” Pandangan Ria menerawang ke depan. Ia sedang membayangkan skema terburuk yang akan terjadi pada GMC. 

“Tenang, Ria. Kita punya banyak pengawalan yang ketat di sini. Kecil kemungkinan anak buah Reno mampu mencelakakan kita,” timpal Januar dengan percaya diri. 

“Aku harap juga begitu. Tapi ini Reno. Dia tidak akan berhenti sampai salah satu dari kalian terluka karena salah satu kalian kemarin yang coba ikut campur dengan urusan Reno.” Ria menghembuskan napas lelah dan memusatkan pandangan pada Samuel yang tengah menatapnya dengan intens. 

“Apapun nanti yang akan terjadi, tolong kabari aku. Barangkali aku bisa membantu untuk meringankan luka tersebut. Dan aku menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika salah seorang dari kalian ada yang berujung ke rumah sakit,” ujar Ria dengan putus asa. 

“Ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal tersebut terjadi?” tanya Septa dengan tenang. Ketegangan sudah tergambar jelas di tiap raut wajah GMC. 

“Waspada terhadap pengawal di sekitar kalian, kalau gak kenal lebih baik dijauhi. Jangan terima makanan dan minuman dari staf, pesan sendiri. Terlebih minuman. Jangan mau menerima minuman botol yang sudah tidak tersegel. Jauhi lighting atau jangan berdiri tepat di bawahnya,” ucap Ria menjabarkan hal-hal yang diketahuinya. 

“Celah paling besar untuk mereka masuk melalui hal-hal seperti itu. Kalau di luar itu, berarti di luar perkiraan.” Ria memandang seluruh penghuni ruangan yang menampakkan berbagai macam ekspresi. 

“Maaf, kalau dekat denganku malah membuat kalian terlibat dalam permasalahan yang tak kunjung usai dan sangat pelik. Ketika semua ini berakhir.” Ria menghentikan ucapannya dan mengambil napas dalam. “Aku akan pergi jauh dari hidup kalian.” 

################

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang