112: Penganiayaan

244 36 1
                                    

"Gue minta sama lo untuk nggak perlu membela kita di hadapan siapa pun," kata Januar dengan tegas. Mereka sedang berkumpul di ruangan yang berisi sofa mengelilingi sebuah meja. 

Ruangan yang digunakan GMC untuk diskusi sebelumnya, bersebelahan tepat dengan ruangan Ria dan Reno bertengkar. Mereka bukan adu argumen, lebih ke arah Ria yang menghakimi Reno. 

Semua pertengkaran mereka terdengar jelas oleh GMC. Bahkan mereka menemukan fakta baru bahwa direktur di hadapan mereka saat ini sebelumnya merupakan CEO di Adiwira Holding Inc. Siapa yang tidak mengenal Adiwira? Banyak, karena saking banyaknya produk yang mereka hasilkan. Sehingga orang-orang tidak peduli di bawah naungan perusahaan mana produk tersebut berasal. 

GMC jadi merasa tidak enak karena membuat kakak beradik itu bertengkar. Ria dengan niat baiknya untuk menyampaikan keresahan GMC, namun caranya yang salah. Ia malah terfokus untuk menghakimi Reno, bukannya berdiskusi menemukan solusi. 

"Gue atas nama GMC berterima kasih atas niat baik lo untuk langsung menyampaikan ke Pak Reno. Protes lewat jalur cepat dan langsung tersampaikan. Tapi, gue mohon untuk tidak pernah melakukannya lagi." 

"Karena hal yang lo sampaikan kurang tepat dan mungkin beberapa hal akan terjadi miss information dan berujung kesalahpahaman. Untuk menghindari hal tersebut, maka jangan diulangi lagi, ya?" tanya Januar di akhir seperti memberitahu anaknya untuk tidak berbuat nakal. 

Ria hanya mampu mengangguk. Ia tidak punya pembelaan apapun atas hal tersebut. "Maaf," ucap Ria dengan pelan. 

"Gue nggak akan mengulanginya. Dan gue mau pamit untuk ke tujuan selanjutnya." Ria bangkit dan berlalu dari hadapan mereka semua tanpa mendapat persetujuan. 

Ria melangkah dengan cepat tanpa mempedulikan sekitar. Bahkan ia sampai menggunakan FPC untuk menggunakan lift yang terdekat dari posisinya saat ini. Tanpa membawa serta pengawal di sisinya. 

Ria tahu ia salah. Januar juga memintanya dengan sangat sopan tanpa ada perkataan yang menyakitkan. Ia hanya tidak sanggup berada di sana dengan perasaan bersalah yang melingkupi dirinya. Ria marah dengan dirinya sendiri. Ia sudah melewati batas antara hubungan pertemanan dengan pekerjaan. 

Ria sampai di lobby tanpa ada yang menginterupsi liftnya. Ia berlari melewati lobby yang ramai karena tidak ingin dikenali oleh orang-orang yang sebagian besar penggemar GMC. Ia bahkan tak mempersiapkan diri jika dirinya mendapati dipotret diam-diam. 

Ria menyebrang jalan untuk tiba di halte busway depan Monokrom. Berhasil tap-in menggunakan kartu elektronik yang dipastikan memiliki saldo di atas 1 juta. Ria menunggu busway di sembarang gate. Ia tidak punya tujuan. Ia hanya ingin pergi dari orang yang mengenal dirinya. 

Busway yang tiba duluan, Ria masuki. Ia tidak melihat nomor dan tujuannya. Tidak peduli. Yang ia butuhkan adalah pergi jauh. 

Lain cerita dengan Fikri yang kehilangan jejak Ria. Ia tidak menyangka sang nona menggunakan FPC untuk segera pergi. Ia yang tidak memiliki FPC mau tidak mau menggunakan lift umum yang mana akan berhenti di beberapa lantai. 

Fikri meninju udara begitu benar-benar kehilangan jejak Ria. Ia tidak punya dugaan kemana tujuan Ria. Atau bahkan gadis tersebut masih di sekitar sini. Namun Fikri tidak sebodoh itu untuk menyusuri wilayah sekitar Monokrom. 

Ia coba berpikir berbagai asumsi tujuan Ria pergi. Fikri tersadar bahwa ia dapat melacak keberadaan ponsel sang nona. Bodoh sekali dirinya yang lamban menyadari. Fikri menelepon Anwar untuk segera menyusulnya di depan gedung Monokrom. 

Fikri mengikuti lokasi dari ponsel Ria. Mengarah ke Selatan Jakarta. Jaraknya semakin jauh dengan mobil yang dikendarainya karena kemacetan yang harus dilalui. Sementara busway memiliki jalur tersendiri yang dapat terhindar dari kemacetan. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang