54: Berbeda

275 28 4
                                    

"Saya gak suka pegang uang cash, kalian harus selalu menyediakan uang tersebut dalam nominal yang cukup besar untuk melakukan transaksi yang tidak dapat menggunakan debit," jelas Ria pada para pengawal baru di depannya yang diketuai Fikri.

Setelah dua hari Ria menghilang dari peradaban, ia kembali pada rutinitasnya. Banyak yang harus diselesaikan di pusat. Ria bahkan tidak melakukan check out dari rumah sakit, dapat dipastikan Nia sangat marah mengetahui hal tersebut.

Setelah insiden penyerangan pada Hariadi di kediaman Hartanto, Ria memang sempat bermalam di rumah Hartanto karena ia sangat lelah secara jiwa dan raga. Ia tertidur di kamar tamu sampai larut malam dan memutuskan untuk melanjutkan tidur panjangnya sampai keesokan pagi.

Paginya ia memilih kembali ke Rajawali dan merombak suasana apartemennya. Sempat terbesit ingin membeli unit baru di tempat lain tapi ia masih belum menemukan fasilitas selengkap Rajawali. Setiap sudut di apartemennya akan mengingatkan Ria pada sosok Anton.

Ria sudah meminta Felis-orang yang bertanggung jawab terhadap seluruh aset yang Ria miliki untuk mencarikan apartemen baru dengan kualitas setara atau bahkan lebih dari Rajawali. Ria tidak masalah jika harga yang ditawarkan lebih mahal, yang penting fasilitasnya.

Setelah mengganti suasana kamar dengan dibantu para pengawalnya, Ria menghabiskan sisa waktunya dengan rebahan dan berselancar di sosial media. Luka di perut dan lengannya sudah kering, tapi nyeri masih terasa ketika ia melakukan pergerakan yang banyak.

Dan hari ini ia kembali pada rutinitasnya sebagai pemimpin tertinggi sementara Wira Corporations. Dua minggu lebih Ria tidak masuk kerja tanpa kabar, dapat dipastikan berkas di mejanya sudah sangat menggunung.

"Kamu ada job tambahan, menjadi asisten pribadi saya di ruangan untuk mengecek kelengkapan serta ketepatan berkas sesuai format. Jangan sampai ada kesalahan penulisan dan hal remeh lainnya ketika diberikan ke saya. Saya akan mengajarkan kamu terlebih dahulu," ucap Ria yang ingin sekali Fikri tolak. Ia tidak bisa kerja kantoran. Lebih baik ia disuruh pergi ke sana kemari daripada harus berhubungan dengan laporan kertas.

Fikri mengangkat tangannya. "Bisa gak, Nona, saya gak usah berhadapan dengan kertas." Fikri mengajukan penawaran. Barangkali ia beruntung.

Ria memejamkan mata mencoba menahan emosinya yang terpancing. Menarik napas lalu menghembuskannya begitu terus sampai tenang. "Ingat, Ria, dia bukan Anton. Dia tidak seperti Anton yang menurut apapun yang kamu perintahkan," ujarnya dalam hati.

Fikri jauh sekali berbeda dengan Anton. Jika Anton cenderung ramah dengan orang sekitar dan lembut ketika berhadapan dengan Ria, maka Fikri kebalikannya. Ia sangat tidak ramah dan judes pada setiap orang dan berlaku juga pada Ria.

Jika Anton akan langsung mengatakan, "Baik, Nona." Ketika diperintahkan apapun oleh Ria, maka Fikri tidak demikian. Jika hal itu tidak seperti yang dilakukannya ketika bersama Wira maka ia akan melakukan penawaran seperti tadi. Ria kesal, sungguh. Ia dengan para pengawal bukan hanya sekedar bos dengan para penjaga, tapi mereka partner dalam hal apapun.

Karena tidak mau memperpanjang percakapan, Ria bangkit meninggalkan mereka begitu saja. Ia langsung keluar dari apartemennya meninggalkan Fikri yang terpaku melihat kepergian sang nona. Hal seperti ini sudah sering terjadi ketika Fikri mengajukan penawaran, maka Ria akan langsung pergi meninggalkannya dan menyisakan kebingungan.

Tiba di basement tempat mobilnya terparkir, Ria terpaku. Mencari sesuatu yang seperti tidak pada tempatnya. "Lexus saya mana?" tanya Ria pada pengawal yang berdiri sedari tadi menunggu kedatangannya.

"Saya kurang tahu, Nona," jawab salah seorang yang mengenai setelan jas hitam.

Fikri berhasil menyusul langkah sang nona yang masih berada di basement. "Silakan, Nona." Si pengawal tersebut membukakan pintu Mercedes Benz A-class putih milik Ria.

Mobil melaju membelah jalanan ibukota yang padat merayap di Senin pagi ini. Suasana hati Ria masih sangat kesal mengingat semuanya tidak berjalan seperti biasanya. "Kalian punya baju lain gak, sih?" tanya Ria menyuarakan hal yang mengganggunya sedari tadi.

"Punya, Nona," jawab si pengawal yang merangkap supir.

"Besok-besok gak usah pakai setelan formal seperti ini, apalagi hanya warna senada hitam semua!",

"Tidak bisa, Nona. Ini sudah peraturan dari Tuan," jawab Fikri membantah perkataan Ria.

"Kamu sedang menjaga Kakek atau saya?"

"Nona."

"Maka kamu harus mengikuti semua perkataan saya! Kalau apa-apa peraturan dari Tuan, yaudah sana sama dia lagi, gak usah sama saya!" ujar Ria dengan intonasinya yang tinggi. Masih pagi tapi ada saja hal yang membuatnya selalu tarik urat ketika berbicara.

"Baik, Nona." Si supir yang menjawab perkataan Ria agar mengakhiri perdebatan mereka.

Mobil berhenti di lobby perusahaan dan si supir mematikan mesin mobil. Ria tidak turun, si supir yang turun untuk membukakan pintu di samping kanan Ria. "Tutup, masuk lagi! Saya bukan turun di sini." Ria memegang kepalanya berusaha menutupi kedua wajahnya. Lobby sedang ramai.

Tanpa banyak suara Ria mengarahkan supir ke arah basement Ananta. Ria memberikan kartu akses untuk parkir yang sudah dibuatnya beberapa bulan yang lalu untuk mengakses parkiran Ananta. Mobil berhenti di parkiran yang tampak ekslusif dan sangat tertutup. Hanya mobil Ria yang terparkir di sana, karena memang itu parkiran khusus untuk keluarga Wira.

Ria berdiri di depan lift yang sedang menuju basement setelah Ria men-tap kartu akses. "Bawain dong tas saya!" kata Ria dan menjatuhkan tasnya ke lantai begitu saja.

Fikri mengangkat alis sebelahnya melihat kelakuan sang nona barusan. Ia mengambil tas tersebut tanpa banyak bicara. Mereka memasuki lift yang akan membawa hingga lantai teratas dalam keheningan.

Tiba di ruangan yang sudah lama ditinggalkan, Ria melihat setumpuk berkas di samping pintu masuk tempat biasa Anton mengecek berkas-berkasnya sebelum diberikan pada Ria. Sesak di dada kembali hadir tatkala memori bersama Anton terputar kembali di depannya.

Ria duduk di kursi kebesarannya dengan menopang kepalanya di atas meja. Mensugesti dirinya untuk tidak menjatuhkan air mata sedikitpun hari ini. Ia harus menyelesaikan semuanya dalam satu hari.

"Saya gak menerima berkas dan laporan lagi hari ini," ucap Ria melalui intercom pada Karin.

"Baik, Nona."

Ria terlarut dalam pekerjaannya tanpa mempedulikan sekitar. Ia sampai lupa waktu dan tidak ada yang mengingatkannya untuk makan siang sebelum perutnya yang keroncongan. "Anton, saya mau bakmi Solaria, ya," ujar Ria memerintahkan seperti biasa tanpa mengalihkan pandangan dari kertas di hadapannya.

Fikri yang sedari tadi kerjaannya hanya memandangi Ria dengan seksama langsung tersenyum miring tatkala Ria mengucap nama tersebut lagi. "Kapan move on nya lah ini orang?" tanyanya dalam hati.

"Ton!" sentak Ria dan melihat ke arah sofa biasa tempat Anton duduk, tapi bukan sosok tersebut yang dilihatnya, melainkan Fikri.

"Baik, Nona."

Ria menghembuskan napas beratnya. Ia mencoba mengenyahkan perih di hatinya yang kembali muncul. Bahkan sekarang sudah pukul dua siang dan Fikri tidak menyuruhnya untuk makan. Mengapa Ria diperlakukan tidak seperti sebelumnya yang selalu diingatkan dan disediakan terkait kebutuhan pokoknya sebagai manusia. Tuhan, Ria rindu Anton...

Entah dalam berapa lama, Fikri kembali ke ruangan dengan membawa mangkuk berisi bakmi sesuai pesanannya. "Ada undangan untuk santunan yatim dan dhuafa di Panti RA, Nona. Ketua panti yang mengundang secara langsung," ujar Fikri memberikan undangan yang terlihat sangat elegan.

Ria menerima undangan tersebut dan membacanya. "Oh, ajang pamer harta. Bukan benar-benar santunan. Kebiasaan mereka gak pernah berubah." Ria menggelengkan kepalanya setelah melihat daftar orang yang diundang dalam acara tersebut. Orang-orang kelas atas dan pejabat eselon ada di daftar tersebut. Lagipula undangan tersebut ditujukan untuk Antara selaku pemimpin tertinggi Wira Corps. bukan Ria.

***

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang