102: Pasca Relaps

211 29 4
                                    

Tiga bulan waktu yang dihabiskan untuk pengobatan Ria di rumah sakit secara intensif. Hal tersebut bersamaan dengan Reno yang semakin parah kondisinya dan mengharuskan dirawat juga di rumah sakit. 

Antara meminta bantuan Wira untuk menemaninya mengurus kedua anaknya yang berada di bangsal psikiatri. Tubuhnya seolah terbagi dua untuk menemani putri atau putranya yang butuh pendampingan juga. 

Wira yang tidak tega memutuskan untuk hadir di tengah-tengah mereka. Ia meninggalkan pekerjaan di Pusat kepada Dika dan meminta lelaki tersebut untuk tidak mengganggu Antara sedikit pun perihal pekerjaan. 

Mereka sekeluarga juga melakukan konseling keluarga ketika Ria dan Reno dirawat intensif di rumah sakit, yang mana seluruh Ananta hadir beserta Wira dan Antara di dalamnya. Mereka meluruskan semua kesalahpahaman yang selama ini terjadi dan dipercayai selama bertahun-tahun. 

Pengakuan pertama dilakukan oleh Wira. “Kakek tahu bahwa selama ini kalian hidup dengan keganasan Lidya. Kakek tahu semua penderitaan kalian. Tapi Kakek memilih menutup mata dan berpura-pura tidak tahu karena tidak ingin merusak rumah tangga Antara.” 

“Terlebih Ria yang begitu menyayangi Ibunya bahkan rela melakukan apapun asalkan Ibunya bahagia. Kakek tidak bisa berbuat terlalu jauh. Kakek hanya memastikan bahwa kalian tidak terluka secara fisik oleh Lidya. Kakek tidak menyangka bahwa kalian terluka secara batin akibat perilakunya,” ujar Wira dengan penuh penyesalan. 

“Saya tahu pertengkaran Ria dengan Reno selama ini. Maka dari itu Saya mengirim Reno untuk memimpin perusahaan di Amerika sementara Ria yang kondisinya sedang parah saat itu saya pertahankan di Indonesia. Tetap berada di sisi saya.” 

Tanpa ditahan Reno menggebrak meja di hadapannya. “Kakek jahat, tau nggak!” teriak Reno penuh kemarahan. 

“Gara-gara Kakek aku jadi terjebak di dunia tersebut dan membuat aku harus mendekam di rumah sakit jiwa seperti ini! Puas? Puas udah buat aku seperti Ria yang mengalami gangguan jiwa?!” tanya Reno dengan keras. Ia memang masih belum mengakui dan menyadari bahwa hidupnya sampai di detik ini akibat keputusannya sendiri yang salah memilih jalan. 

Ria yang tidak terima dibilang seperti itu, ikut menimpali perkataan Reno. “Lo emang udah sakit jiwa dari lama! Nggak usah nyalahin kejadian baru-baru ini di hidup lo! Bahkan lo nggak bisa bedain mana perlakuan baik Ibu ke lo dan meyakini bahwa Ibu melakukan kekerasan fisik kepada lo.” 

“Akuilah, Reno. Lo memang keturunan Ibu dan mewarisi penyakit kejiwaan Ibu,” kata Ria dengan tersenyum. 

“Sudah, sudah. Tenang.” Ardi memisahkan perdebatan tersebut. 

“Ada lagi yang ingin disampaikan, Pak Wira?” Wira menggelengkan kepala. Ia kehabisan kata-kata. 

“Selanjutnya, siapa yang mau berbicara?” 

“Sebenarnya aku nggak pernah menyuruh Kakak untuk pergi selamanya dari dunia ini.” Reynal buka suara. Ia tidak berani melihat ke arah Ria langsung dan memilih memandang ke lantai. 

“Aku kesal karena Kakak sedih ketika Ibu pergi. Hanya Kakak seorang yang berduka cita ketika orang lain bersuka cita atas kepergian Ibu. Aku nggak suka! Kakak nggak ingat yang telah diperbuat Ibu terhadap seluruh penghuni rumah?” Reynal tersengal mengingat kembali masa itu. 

“Kakak juga begitu mirip dengan Ibu. Cara bicaranya, raut wajahnya, bahkan dari derapnya terdengar sama. Semua yang ada di diri Kakak saat itu benar-benar jiplakan Ibu. Kakak pikir aku akan baik-baik saja jika terus berada di dekat seseorang yang menjadi sumber deritaku?” tanya Reynal dan memandang wajah Ria yang sangat datar. 

“Kakak sadar nggak? Sekarang Kakak lagi menampilkan sosok Ibu.” Semua orang langsung memandang ke arah Ria yang duduk tegap mengeluarkan aura Nyonya besar. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang