Tok. Tok. Tok. Tok
"Non, bangun. Ke kantor, gak?" Ketiga kalinya Bi Sumi mengetuk pintu kamar Ria. Nonanya belum juga memberi sahutan. Bi Sumi memutuskan untuk masuk ke dalam kamar nonanya, meskipun ia sedikit takut karena Ria tak suka kamarnya dimasuki orang lain.
Ria masih terlelap di balik selimutnya. Ia sangat kelelahan karena baru menyelesaikan pekerjaannya di jam tiga pagi. Ritme kerjanya akhir-akhir ini sudah di luar batas kemampuannya, tapi tetap ia paksakan. Pemimpin memang seperti itu, kelihatannya saja mudah menyuruh bawahannya untuk bekerja, padahal beban kerjanya lebih di atas mereka.
"Non, ayo bangun, sudah jam 8. Bukannya kantor Non masuk jam 9?" Bi Sumi menepuk pelan lengan atas Ria. Ia juga tidak tenang tidurnya tadi malam karena nonanya masih bangun dini hari.
Ria melakukan sedikit pergerakan, ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang entah pergi kemana. Tubuhnya sakit sekali. Jarang olahraga, makan tidak teratur, tidur lewat dini hari dan cuaca di luar yang tak bersahabat sudah dialaminya seminggu ini.
Ria mengulurkan kedua tangannya pertanda meminta bantuan untuk membuatnya terduduk. Rasanya ia mau cuti saja hari ini, tapi ia memiliki janji ke pusat untuk melakukan presentasi di hadapan petinggi pusat terkait projectnya yang berjalan sangat sukses dengan demand yang tinggi.
"Ambilin baju aku deh, Bi. Gak usah mandi, dingin banget." Cuaca di luar memang sedang turun hujan yang cukup deras. Pasti kendaraan sudah memenuhi ruas jalan yang mengakibatkan kemacetan tak berujung. Ria pasrah saja jika ia akan terlambat absen.
"Non, sarapannya." Bi Sumi menghampiri Ria dengan setengah berlari, ia sudah menyiapkan sandwich untuk dimakan Ria di perjalanan menuju Intrafood.
"Makasih, Bi." Ria bergegas turun ke lobby dan berangkat bersama Anton menggunakan mobil. Ria sangat bersyukur papahnya memutuskan untuk mempekerjakan Bi Sumi di apartemennya. Bi Sumi sudah mengabdi dengan Wira selama puluhan tahun dan ia menjadi ART yang paling dipercaya oleh Wira.
Kepala Ria rasanya berat sekali. Ia memejamkan mata sepanjang perjalanan. Tubuhnya mengatakan untuk istirahat, tapi pekerjaannya tak memberinya sedikit napas.
Hatchii. Hattchiii. Hattchhiii.
Anton segera memberikan tisu pada nonanya yang sepertinya terserang flu. Ia tak bisa berbuat banyak dalam menahan Ria dengan ritme kerjanya, ia masih belum seberani itu berdebat dengan Ria.
Mereka tiba di lobby Intrafood 15 menit sebelum absen ditutup. Ria bergegas turun tanpa mengindahkan seruan Anton untuk menunggunya. Anton takut Ria tak kuat berjalan karena terlihat jalannya yang sempoyongan. Nonanya benar-benar dalam kondisi tidak baik.
Ria merebahkan tubuhnya di sofa yang disediakan Intrafood di lobby tak jauh dari tempat absensi menggunakan sidik jari. Yang penting ia sudah absen, naik ke atas pukul berapa bisa diatur. Kepalanya berat, hidungnya tersumbat dan tenggorokkannya gatal. Anton menghampiri nonanya yang terkapar di sofa. Ia kasihan, tapi tak tahu harus berbuat apa.
"Tolong beliin masker medis sama susu beruang, Ton." Ria memberi uang seratus ribu pada Anton untuk dibelanjakannya di minimarket yang tak jauh dari kantor. Anton terlihat ragu meninggalkan nonanya, ia terdiam sejenak untuk berpikir tindakan apa yang harus diambilnya.
"Gapapa, Ton, pergi aja. Di sini ramai orang, kok," ujar Ria mempersilakan Anton untuk pergi mengikuti perintahnya. Ia tahu Anton khawatir terhadap kondisinya. Anton langsung mengikuti perkataan Ria dan berjalan secepat mungkin agar nonanya tidak menunggu terlalu lama di lobby.
Drrttt. Drrrttt. Drrrrttt.
"Ri, lo dimana? Udah jam segini belum sampai juga," ujar Vera setengah panik di ujung sambungan sana. Ria menjadi peran utama untuk hari ini dan tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Woman
ChickLitRia Ananta. Ananta itu kepanjangan dari Anaknya Antara, papahnya Ria. Ia sengaja diberi nama itu untuk menutupi identitas aslinya yang merupakan anak seorang konglomerat kaya raya tujuh turunan. Padahal sudah terlihat jelas dari pembawaannya bak pu...