116: Wira's Birthday

416 36 4
                                    

Entah terlalu lelah atau terlalu malas, Ria langsung tergeletak begitu saja di tengah-tengah ruangan depan. Ia melempar tas sembarang dan merebahkan tubuhnya di lantai. Lantainya bersih tentu saja. Untuk apa Antara mempekerjakan pembantu rumah tangga sebanyak itu jika rumahnya masih saja kotor.

Ria masih setengah terkejut mendapati keputusan Tian yang memilih untuk berpisah. Meskipun lelaki tersebut tidak gamblang menyatakannya, namun Ria paham arti dari semua tindakan Tian hari ini. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa semuanya telah usai.

Ria masih belum menerima alasan dari lelaki tersebut untuk mengakhiri hubungan mereka. Sungguh, Ria masih tidak mengerti sudut pandang Tian. Ia bahkan tidak tahu hal yang membuat Tian merasa begitu tersakiti. Seolah dirinya berselingkuh dari lelaki tersebut.

Ria menyipitkan matanya begitu berbagai spekulasi hadir di benaknya. Semakin dipikirkan, semakin sakit kepalanya. Namun ia tidak bisa menerima begitu saja. Di sisi lain, ia juga begitu bucin terhadap lelaki tersebut. Apapun yang membuat Tian bahagia dan nyaman menurut versi lelaki tersebut, maka akan Ria lakukan.

Mungkinkah ini saatnya pepatah 'karena nira setitik rusak susu sebelanga' berlaku di hidupnya? Padahal Ria menerapkan kesempatan ketiga, loh. Mengapa ia tidak menerima hal seperti itu juga?

Ria mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan sedari tadi. Ia merasakan seseorang ikut merebahkan tubuhnya di belakang Ria. Masa bodo, ia tidak peduli jika dikatakan orang gila. Memang dirinya gila dan sudah berulang kali dirawat di bangsal psikiatri.

Tiba-tiba sebuah lagu terputar dari speaker ruang keluarga dengan volume sangat besar. Lagu tersebut memiliki instrumen yang sangat sendu seolah mengiringi kesedihan Ria saat ini. Tangisnya kembali luruh mengingat kisah yang diperjuangkannya selama lebih dari lima tahun harus kandas begitu saja.

Tanpa berusaha menutupi suara tangisannya, ia meraung sekencang mungkin. Meluapkan segala sesak di dada. "Matiin woy! Anak orang malah kejer ini," kata orang di belakangnya yang dapat dipastikan Reynal dari suaranya.

Lagu tersebut bukannya berhenti, malah berganti menjadi lagu lain. Ditambah suara sember dari Reno seolah meledeknya yang sedang patah hati. "Tak ada kisah tentang cinta yang bisa terhindar dari air mata."

"Huaaaa Papah." Suara kencang Ria tak mau kalah dari Reno dan speaker-nya. Ria menendang-nendang udara, melampiaskan kekesalan dan kesedihannya yang hadir bersamaan.

"Cup, cup. Udah, Kak. Bang Reno diladenin malah makin jadi, kan." Reynal memeluk Ria dari belakang dan menenangkan sang kakak yang sedang kesal diledek.

"Papah," raung Ria memanggil sang papah, seperti anak kecil tantrum, memanggil salah satu orang tuanya yang dapat dianggap sebagai penyelamat.

"Reno, Ria!! Apa-apaan sih kalian?" tanya sang papah yang lari tergopoh dari depan rumah.

"Huaa Papah."

"Reno, matiin!" titah Antara tak kalah kencang.

Punya anak empat yang sudah dewasa saja harus membuat Antara teriak-teriakan seperti ini. Bayangkan jika mereka masih balita, betapa pusingnya Antara menghadapi kelakuan mereka.

Reno mengikuti perintah papahnya dan musik dimatikan. Ia bergabung dengan sang papah di tengah ruangan depan. Melihat kondisi adiknya yang begitu mengenaskan.

"Anak siapa sih itu?" tanya Reno pada Randy yang ikut bergabung juga.

"Anak ilang keknya. Atau kesambet setan di ruang sidang," balas Randy yang ikut meledek Ria.

Memang hanya Reynal doang yang normal melihat kakaknya menangis. Ia dengan setia memeluk dan sesekali mengusap punggung Ria agar tangisnya mereda. Namun tak kunjung membuahkan hasil. Yang ada ia mendengar raungan Ria karena ledekan dari kedua abangnya.

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang