interogasi

760 82 12
                                    

Di dapur, Iyok sedang menemani mama Fano memasak.

"Kamu bisa tolongin Mamah potong bawang?" Mama yang sedang mengupas kulit pepaya muda menyerahkan keranjang berisi bumbu dapur.

Iyok mengambil dan mencari pisau kecil. Mama Fano tersenyum sekilas.

Fano sedang nge-game, lagi pula akan rusuh jika lelaki maniak action figure itu masuk ke dapur.

"Udah, Mah." Iyok menyerahkan mangkok berisi bawang yang sudah dipotong tipis.

"Tanya Fano coba, Yok. Dia mau telur setengah mateng atau yang mateng banget."

Iyok yang tadinya sudah berbalik badan langsung menghadap ke mama Fano lagi. "Fano gak suka telor setengah mateng, Mah. Mending buat yang mateng aja."

Mama terkejut. Ia lupa jika Fano tidak suka telur yang masih amis.

"Kamu tau banyak tentang Fano ya ,Yok?"

Iyok berhenti memasukkan kulit bawang yang berserakan ke kantong kresek. "Maksudnya, Mah?"

"Akrab banget sama Fano dari kapan?"

"SMA."

"Sekarang makin deket, ya?"

Iyok total bingung. Nada suara mama Fano seolah menyindir. "Aku gak ngerti."

"Hubungan kalian gimana?"

"Baik."

Mama menghentikan gerakan mengupasnya. "Sikap Fano ke kamu?"

"Baik aja. Kenapa, Mah?"

"Baik itu banyak bentuknya. Ramah, pengertian,  perhatian, selalu sedia pas butuh juga bisa disebut baik."

"Yang Mamah sebut tadi sifat Fano ke aku."

"Semua?"

"Sebagian besar."

Mereka bertatapan. "Perasaan kamu ke Fano gimana?"

"Err.. Nyaman." Iyok sebenarnya bingung harus bersikap bagaimana, Mama Fano menatap penuh selidik dan itu mengganggu Iyok.

"Nyaman?"

Iyok memotong cabai demi menghindari kontak mata. "Dia selalu buat aku tenang dan gak nuntut macem-macem. Contohnya pas aku makin gemuk, dia enggak tuh cari partner lain. Dia selalu tau kalau aku berubah mood, dia ngerti batasan buat bercanda, dia.."

"Dia tau batasan buat skinship?"

Iyok tercekat. "Skinship?"

Mama duduk di kursi. Badannya lemas. "Mamah sering liat dia pengen pegang kamu terus."

Mata Iyok membola.

"Maaf Mamah lancang, cuma kalian sering bercanda di ruang tamu. Mamah ngeliat Fano frustasi pengen sentuh tangan atau pinggang kamu. Iya harusnya mama bilang ini ke Fano, cuma mama gak tega."

Iyok ikut duduk. Mereka berhadapan. Situasinya rumit.

"Iyok bisa janji?"

Mendongak dan pandangan mereka bertemu. "Tolong bersikap biasa aja ke Fano setelah percakapan kita ini. Mamah enggak mau kamu kasih jarak ke dia. Kamu bisa? Atau kamu ngerasa jijik sama Fano?"

Iyok menggeleng. "Gak jijik, Mah. Aku kaget. Fano emang suka sentuh temen-temen yang lain kok kayak tos atau pukul bahu."

Mama diam.

"Fano itu biasa pegang-pegang orang terus main kelitik. Fano jahil makanya cari titik lemah incerannya pake pegang sana-sini, tapi cuma sebatas itu kok, Mah." Iyok menyakinkan.

Mama menghela napas dari mulut dengan gaya berlebihan. "Mungkin emang perasaan Mamah aja kali yang lebay. Karena kamu yang tiap hari main ke sini jadi lebih Mamah perhatiinnya juga lebih, padahal harusnya liat juga cara Fano gaul sama temen yang lain, ya?"

Iyok mengangguk asal.

"Gak marah sama Mamah, kan?"

"Buat apa marah? Mamah tandanya sayang sama Fano."

Mamah tersenyum meski dengan hati yang masih berat. Ia tahu jika firasatnya tidak mungkin salah, namun menuduh tanpa bukti jelas sangat salah.

Melihat Iyok tersenyum tulus menjadikan perasaan resah tidak berkurang. Justru keraguan bercokol dalam dada semakin kuat. Haruskah mencari bukti kuat atas argumen yang telah ia keluarkan?

END

08 Januari 2020

[A/N]
Selamat istirahat 💖

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang