rajuk (2)

707 58 47
                                    

Dalam satu hari, dua puluh empat jam penuh, hampir lima tahun lebih beberapa bulan lamanya,

Fano ada di setiap harinya Iyok.

Iyok sadar kosong itu ada pas Fano pergi, sibuk sama dunia yang dirinya gak bisa masuk.

Tiga jam lewat dari pertengkaran mereka. Jatohnya bajingan banget, sebab Iyok gak tau letak salahnya.

Flashback tiga jam lalu.

Di mall, lantai dua. Niat mau nonton bioskop gugur karena Fano tiba-tiba rewel minta ganti rencana. Iyok bingung aja, yang dari pagi bangun duluan terus kasih ide buat nonton siapa? Yang semangat sekali pesan tiket online siapa? Dan antre pertama beli popcorn siapa? Semua jawabannya ya, Fano.

Sekarang ngegembel di cafe yang gak tau apa juntrungannya. Habisin oksigen Iyok lakuin dari tadi karena ngeliat Fano yang tekuk muka sampai semua kerutan berkumpul di hidung.

"Aku salah apa?" Iyok akhirnya buka suara. Fano seenaknya aja main hp dan gak kasih kejelasan atas kegiatan mereka hari ini.

Fano menaruh ponsel di tengah meja. "Salahmu buat aku gak suka sama baiknya kamu sekarang."

Iyok miringin kepala, matanya berkedip cepat; bingung. "Maksudnya?"

"Ya, kamu senyum sana-sini. Emang kamu kira aku baik-baik aja?"

Alis menukik. Beneran bingung sama penjelasan Fano. "Loh kok gitu?"

"Aku cemburu, Yok." Suara itu keluar setelah helaan napas panjang yang berat dihembusin.

"Hah?"

"Gak tau ah." Respon Iyok, keterlaluan banget.

"Fano. Gak boleh gitu."

"Cemburuan?"

"Bukan. Gak boleh gak senyum. Ibadah tau." Iyok menusuk punggung tangan Fano yang lagi aduk minumannya pakai sedotan.

"Gak harus tiap ketemu orang senyum, kan? Jatohnya aneh." Fano masih pertahanin argumen kalau Iyok yang senyum terus itu gak baik.

Iyok maklum. Fano yang cemburuan ini emang lucu tapi banyak ngeselinnya. "Aku senyum ke orang yang senyum sama aku, sama kamu juga." Diambil tangan Fano buat digenggam. Dingin suhu Fano masuk ke pori-pori tangan Iyok yang hangat.

Fano kalau cemburu itu memang langsung bilang, jujur dan terkesan blak-blakan. Kadang Iyok sampai gak kuat nahan degup jantung yang kencengnya bukan main karena senang sama ucapan gak sukanya Fano sama tingkah dia.

Diliat dari sudut manapun, Fano itu terbuka. Harusnya gak susah buat selesai masalah. Salahnya, Fano itu susah ungkap perasaan lewat bahasa. Bicaranya mendadak acak-acakan dan gak beraturan.

Balas genggam itu sadari Iyok dari lamun yang bawa fokusnya tadi. "Itu. Gara-gara itu aku cemburu. Kamu denger gak pekik seneng mereka?"

"Bagus dong. Bagi kebahagiaan ke orang lain." Lagi-lagi Iyok tersenyum. Matanya menyipit seperti bulan sabit dengan bibir semerah ceri yang mengulas indah membentuk senyum ikhlas di sana. Fano suka; cuma gak mau bagi-bagi manisnya buat orang lain.

"Mereka baper, Yok."

Menggeleng dengan mantap. "Enggak."

"Sok tau."

"Kamu yang sok tau." Iyok lama-lama ikutan kesal. Ditarik tangannya.

"Aku emang tau."

"Kamu egois."

"Kok jadi aku?"

"Terus aku doang yang salah? Aku baik ke mereka karena mereka suka sama kita. Kamu cuek banget. Mereka bakal kira kamu sombong. Aku gak kau citra kamu buruk makanya aku aja yang bales senyum mereka. Cuma senyum, No. Bukan pegang tangan atau foto. Gak ngambil waktu kita buat nonton, kan?"

"Kamu kalau kasih baik ke mereka, bisa-bisa pada baper. Repot nantinya."

"Fano! Dibilang gak boleh gitu! Anter aku pulang aja sekarang."

Tanpa banyak bantah dan argumen lagi, Fano bayar bill terus jalan duluan ke parkiran. Total gak mau emosinya meluap berlebihan ke Iyok. Fano gak mau tensi yang lagi tinggi dilimpahin dengan cara yang malah buat dia nyesel nantinya.

Terlanjur sayang sampai lupa kalau mereka belum ada ikatan lebih dari sahabat. Terlanjur sayang sampai lupa kalau hal sesepele senyum aja bisa jadi ajang debat kusir gak penting yang malah buat hubungan mereka renggang.

TBC

31 Januari 2020

[A/N]
Lagi gak mood nulis sebenernya, cuma kalau ngilang lagi, nanti beneran gak ada niatan lanjut cerita yang on going :(

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang