mau juga

677 83 23
                                    

"Mbak, aku berangkat dulu." Pamit Iyok lalu mencium pipi mbak Bilqis yang baru saja memasukkan dompet serta ponsel Iyok ke dalam tas adiknya.

"Mending gak usah pulang kalau kemaleman." Mbak Bilqis tolak pinggang. Kesal karena bunyi gerbang yang terbuka lalu deru mesin mobil yang mengganggu tidurnya.

Iyok terkekeh. "Nanti nginep di rumah Fano."

Di ruang tamu, Fano melihat interaksi dua saudara itu. Secara jelas merekam senyum dan kecupan Iyok buat si kakak perempuan.

Iyok jalan menghampiri Fano yang duduk santai dengan gaya menantang. "Yuk."

Fano berdiri lalu menarik tangan Iyok untuk berhenti.

"Apa?" tanya Iyok bingung. Pasalnya mereka hanya berdiri berhadapan tanpa Fano bicara lanjut.

"Ngapain kamu sama mbak Bilqis?"

Iyok melepas tautan mereka. "Ngapain apa?"

"Tadi." Menunjuk dapur dengan bibir dan wajah tertekuk.

"Dia cuma bantu aku siapin barang."

Alis Fano terangkat tinggi-tinggi. "Pake cium segala?"

Iyok mengangguk antusias "Kenapa?" tanya Iyok.

"Ya, terus?" dibalas tanya yang sangat tidak jelas oleh Fano.

Iyok jengah. "Apa? Kamu kenapa, Fano?"

Fano angkat bahu acuh dan berjalan melewati Iyok begitu saja. Membuka pintu mobil dan menyalakan mesin, membiarkan Iyok yang membuka gerbang terlebih dahulu.

Mobil melaju. Aura Fano suram. Iyok bergidik ngeri. "Nanti mampir ke toko baju sebentar. Aku lupa bawa baju."

Fano mengangguk.

Iyok memutar otak, ingin mencari bahan obrolan. "Makan siang di rumah kamu aja ya, No."

Fano mengangguk lagi.

Geram, Iyok cubit lengan atas sahabatnya itu. "Cerita. Kenapa, Fano? Jangan ikutin aku kalau ngambek diem doang."

"Hoooh, ngaku sekarang kalau ngambeknya diem. Enak gak didiemin gitu?"

Iyok mendengus. "Kamu ngeselin."

Di depan lapangan, Fano menghentikan mobil asal. "Aku cemburu. Salah?"

"Cemburu sama siapa?"

"Kamu sama mbak Bilqis."

Berfikir karena perkataan Fano rancu. "Kenapa sama mbakku?"

Menghela napas. Fano sadar jika Iyok ingatannya lemah. "Di dapur, tadi pagi, kamu sama mbakmu."

"Ooh, ciuman tadi?"

Fano mengangguk.

"Dia kakakku, terus kenapa?"

Fano memiringkan tubuh agar menghadap Iyok. "Kenapa kamu cium dia?"

"Aku sayang dia makanya aku cium, kalau nyebelin kayak mas Julio bakal aku timpuk. Jelas?"

"Kamu juga sayang sama aku?"

"Eh?" Iyok menatap Fano terkejut.

"Aku sayang kamu, kamu sayang aku juga gak?" Fano gamblang sekali kalau mau jujur.

Bingung karena pembicaraan Fano tidak jelas ujungnya, Iyok memiringkan kepala. "Inti ucapan kamu apa?"

"Aku mau juga dicium."

"Gak bisa." Tolak Iyok cepat.

"Kenapa?"

"Kamu bukan saudara aku. Lagian aku bukan tipe orang yang sembarangan kasih ciuman."

"Aku harus jadi saudara kamu dulu baru dapet cium?"

Iyok mengangguk.

"Tapi aku gak mau jadi saudara kamu."

Iyok memutar matanya jengah. "Ya kamu emang bukan saudara aku."

Fano diam. Matanya melirik rumput lapangan yang berwarna kuning kering.

"Jangan marah." cicit Iyok.

Fano menggeleng dan memutar kunci untuk menyalakan mesin, sampai Iyok bergerak mendekat.

Saking dekatnya sampai napas Iyok menerpa pipinya. Eh tunggu, pipi?

Lalu sapuan halus di bagian dekat rahang tersentuh lembutnya bibir Iyok. Fano mematung sepersekian detik sampai Iyok mengerang kesal.

"Mukanya jangan shock gitu dong. Aku malu, bajingan."

Fano menyentuh rahangnya yang menghangat.

Ah, seperti ini rasanya.

END

20 Januari 2020

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang