insomnia

645 59 118
                                    

Pukul dua dini hari. Rumah jelas sangat sepi karena semua penghuninya sudah pada tidur, terkecuali si anak bungsu. Memiliki kamar di lantai atas seorang diri membuatnya bersikap biasa —pada awalnya. Namun, setelah menonton film horor, ia menjadi sedikit takut untuk memejamkan mata.

Bayangan ada tangan berkuku panjang berwarna hitam menariknya sampai ke kolong kasur atau suara gaib membuat Iyok parno. Seketika kantuk lenyap berganti rasa gugup dan takut yang perlahan-lahan menguasai diri.

"Aaghh.. Nyesel aku nonton horor malem-malem." Iyok menyembulkan kepala dari balik selimut. Mata menelisik sekitar, takut-takut ada 'yang lain' ikut menghuni kamarnya.

"Aduh udah malem banget. Mau bangunin mama ga enak." Bibir sewarna buah peach itu bergerak random. "Kalau telepon Fano diangkat ga, ya?" Iyok menimbang.

Meraih ponsel di nakas, si pipi bulat menemukan kontak Fano di daftar riwayat chat teratas pada WhatsAppnya. "Gendeng. Pasti dia nih yang kasih pin." Mata sebening madu itu menangkap Fano sedang online. "Tumben."

Chat sama siapa kamu?|

|Loh belom tidur?

Ga bisa tidur, No|

|Kenapa?

Abis nonton horor |
Aku takut diculik setan|

|Terus?

Iyok mengerang jengkel sambil menyumpahi lawan chatnya. "Dasar ga peka."

Lalu nama Fano memenuhi display ponselnya, secepat cahaya Iyok terima panggilan suara dari si manik jelaga.

"Kenapa belum tidur kamu? Ini udah lewat tengah malem loh." suara berat Fano menyapa gendang telinga Iyok. Rasanya selalu menenangkan sekaligus membuat detak jantung berdegup tidak biasa.

Iyok menahan senyum dengan mengigit bibir. "Tadi abis nonton film rekomendasi dari Wardhana, terus takut deh."

Fano tertawa di seberang sana. Jenis tawa yang renyah. Iyok kembali mati-matian menahan senyum yang mau terbit. Perut Iyok serasa dipenuhi kupu-kupu yang menggelitik menyenangkan. "Mau aku nyanyiin aja biar bisa tidur? Gitarku udah bener nih."

Sejujurnya Iyok rindu sama Fano. Semenjak pertengkaran waktu itu, mereka belum bertemu lagi. Permintaan maaf Iyok kemukakan lewat chat dan kemudian mereka video call seperti biasa. Fano bilang juga kalau cemburunya terlalu buta sampai buat Iyok nangis seharian penuh.

Saat video call, Fano menatap Iyok iba. Mata sebening madu itu redup dan diganti dengan kelopak mata yang memerah dengan bengkak luar biasa besar. Fano meringis ketika wajah Iyok memenuhi layar ponselnya.

"Ga mau dinyanyiin." tolak anak bungsu mama Sandra.

Di ujung panggilan, Fano mengernyit. Tidak biasanya Iyok menolak nyanyian dari Fano. Bahkan Iyok cenderung memaksa agar si jelaga bernyanyi sampai Iyok tidur atau sekadar saling berbagi rindu lewat jarak; Fano menelepon di rumahnya sambil bernyanyi dan Iyok ikut bersenandung di belahan bumi lain. Lantas, rasionalitas Fano membeku sebab penolakan itu.

"Terus maunya apa, hm?"

Iyok bisa mendengar gorden yang digeser lalu helaan napas dari seberang panggilan. "Ga tau."

"Aku juga ga tau harus apa loh, mbul."

Mendengus, Iyok memeluk guling sambil duduk bersila. "Kamu ga peka, apa pura-pura ga peka sebenernya?" alis yang lebih muda menyatu.

Ada erang singkat dari Fano. "Aku emang ga tau. Mau peka gimana kalau paham kode aja susah ngertinya. Bilang aja kamu maunya apa nanti aku turuti."

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang