kopi dan senja

634 62 13
                                    

"Sial, Fano. Kita harus pulang sekarang." Iyok sibuk memasukkan beberapa buku dan alat tulis ke dalam tas. Lembayung menghiasi langit. Siang bergulir menuju senja. Lapisan kuning berganti coklat keemasan dan siap berubah menjadi ungu lalu hitam.

Fano terlampau santai malah kembali menghidupkan rokok kedua untuk hari ini. Asap mengepul dari mulut dan lubang hidung seperti cerobong kereta api jaman dulu. Iyok mencubit lengan atas sahabat lelakinya yang tidak ikut panik. "Ayo pulang. Macet di jalan. Aku gak suka."

Terkekeh sambil kembali menyeruput kopi hitam; pahit serta asam lekat melapisi lidah. Kopi tanpa gula, kopi tanpa susu, dan kopi tanpa creamer. "Kamu tinggal duduk aja, aku yang nyetir. Gak perlu repot gitu, mbul."

Iyok mendengus. Muka tertekuk sebab kesal bercokol dalam hati. "Aku capek. Mau tidur. Pulang ~" Berakhir nada rengek yang menggemaskan keluar. Tipikal sudah lelah berdebat dan ingin segera rebah pada kasur.

"Kamu di kursi belakang aja nanti tidurnya." kata Fano. Asap tipis keluar membuat udara tercemar.

Iyok mengibas tangan guna menghalau angin yang membawa oksigen jelek masuk ke paru-paru. "Gak mau. Mau di rumah aja." Yang lebih muda menelisik kopi di meja milik Fano yang baru tandas setengahnya. "Suka sekali ngerokok sambil ngopi. Percis bapak-bapak. Asam lambung, Fano. Nanti cepet mati. Katamu mau tua sama aku."

Si jelaga mengusap pucuk kepala coklat terang. "Gak tiap hari, sayang."

Matahari semakin menjauh. Bulatnya tidak lagi utuh di ujung sana. Bentuk gagah yang merajai siang kini separuh tenggelam di ufuk barat. Burung-burung terbang ke selatan, pulang ke sangkar. Bulan malu-malu menyembul di langit yang belum sepenuhnya gelap.

"Kenapa harus rokok? Dia bisa bunuh kamu. Tau?"

Fano mengangguk. Menjentikkan ujung tembakau yang sudah habis baranya ke asbak. "Tau. Dan kenapa harus rokok? Pengalihan, mbul. Aku gak bisa alihin rasa penuh di kepala ke hal lain, terlalu rumit. Lagian aku bilang tadi; gak setiap hari."

"Kenapa harus, Fano? Ada aku."

"Cara kita hadapi masalah beda-beda. Mungkin aku dan rokok ini salah di mata kamu buat selesain masalah, cuma aku terbiasa dengan ini.  Soal kamu, aku senang kamu ada buat aku sekarang. Iyok ..." Fano memandang rokoknya meski tadi memanggil sang sahabat. "Aku selalu lari ke kamu buat cerita keluhku. Tiap malam gak bisa aku telepon kamu cuma buat dengar sakitku. Rokok ini yang jadi pengalihannya."

Iyok mengigit bibir bawah. Menimbang perkataan Fano. "Aku siap kapanpun buat kamu. Jangan sungkan. Bukannya kita udah janji buat terbuka? Sakitmu jadi derita aku juga, Fano."

Yang lebih tua tersenyum. Menekan rokok yang baru dihisap setengah ke asbak sampai mati. "Ayo pulang." katanya lalu menghabiskan kopi serta menyemprot parfum ke baju dan telapak tangan.

Iris caramel mengangguk dan dengan bangga menyelipkan jemari di antara jari panjang si hazel gelap. "Ayo."

Dan meski tembakau serta kopi menemani, namun pelukan hangat yang ditawarkan tidak pernah ditolak.

END

28 Februari 2020

[A/N]
3 hari gak update. Kangen sekali..

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang