sejenak

801 83 14
                                    

"Ngerti khawatir?" Fano bersedekap di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Iyok acuh dan kembali sibuk membaca.

"Bilang kalau marah. Pukul kalau bisa." Sekarang Fano sudah berdiri menjulang di hadapan Iyok.

"Diem terus kalau ditanya, aku butuh jawaban. Paham kalau aku gak suka ditolak?"

Iyok bangkit sambil melempar buku yang terhempas ke ranjang. "Tau apa soal sabar? Aku bilang sepuluh menit lagi bakal pulang. Teror telfonmu keterlaluan, Fano."

"Keterlaluan? Aku sampe khawatir gitu kamu bilang keterlaluan? Kacau."

Iyok terkejut. "A-aku gak tau."

"Ya mana kamu tau kalau ngomong terus waktu itu. Penjelasan aku juga gak didenger sama sekali. Sampah kayaknya."

"Mulut, No."

"Tanya sama diri kamu sendiri di sini." Fano menepuk dada kiri Iyok.

"Ke sini buat berantem? Sana pulang." Iyok sama batunya.

Fano mengerang kesal. "Bener suruh aku pulang?"

Iyok melipat tangan di dada, songong sekali gayanya. Kalau tidak ingat ia sayang, ingin Fano pukul sampai mampus saja si rebel di depannya ini.

"Kamu pulang, aku baik-baik aja 'kan sekarang? Gak perlu berlebihan." Dagu naik ke atas, menantang. "Gak usah diperbesar."

"Khawatir kamu berlebihan, Fano. Aku bisa mati sama posesifmu." Sambung Iyok. Manik gelap itu nyala dengan api amarah.

"Posesif katamu? Kalau bukan karena paniknya mama tau kamu susah dihubungin, aku juga gak sudi cari kamu yang malah asik sendiri."

"Bisa gak usah kasar gitu bahasanya?"

"Apa bedanya sama kamu?!"

Iyok mundur selangkah. Fano mengusap wajah kasar. Total lepas kendali sampai membentak manisnya.

Mendekat lalu memeluk Iyok. "Maaf. Aku kelepasan emosi. Jangan takut, Mbul."

Pundak Iyok bergetar. Anak bungsu yang selalu disayang gak terima bentakan buat Iyok shock.

"Yok." Fano mengurai pelukan. Menatap caramel yang tertutup. Bibir merah seperti ceri itu digigit.

Fano sentuh bibir selembut kapas, berdarah.  "Jangan digigit. Maaf. Maaf." Fano kembali mendekap Iyok. Memeluk erat.

"Aku salah, No." Iyok meremas kaos bagian bawah punya Fano. "Harusnya jangan matiin maps."

Fano menaruh dagu di pundak Iyok. Mendengar napas putus-putus milik sahabatnya.

"Aku lupa waktu pas main. Maaf. Mama pasti bingung. Kamu juga?"

Mengangguk sekilas, Fano merasa bibir Iyok menyentuh tulang selangkanya.

"Jangan diulangin. Aku khawatir. Kalang-kabut cari kamu dari sore sampe malem. Takut, Yok."

Menyamankan diri pada dekapan hangat Fano, Iyok bisa merasa detak jantung si arang berdegup cepat.

"Bilang kalau mau pergi. Izin sama mama. Mama terlalu percaya kamu ke aku sampe dia nangis pas aku ke rumah tapi kamunya malah bilang mau pergi."

Iyok bungkam. Nyaman itu nyata adanya.

"Hampir mati aku pas cek maps kamu gak kebaca di hpku. Khawatir, Mbul."

Bahagia melingkupi yang muda. Meski jahat, tetapi ia senang Fano sebegitu kacau hanya karena dirinya.

"Jangan gini lagi. Aku gak mau kekang kamu, tapi juga gak sebebas itu Simpati mama udah aku dapet, jangan dirusak."

Iyok meletakkan dagunya di pundak Fano. Menghirup cirtus dari sana.

"Mbul, sayang kamu." Lirih Fano mengakibatkan tarian kupu-kupu di perut Iyok.

Mereka berpelukan. Berdamai dengan perasaan yang tadinya kacau.

END

11 Januari 2020

[A/N]
I'm done.
Ketika pintu apartemen kamu tutup dari luar, aku sadar kalau kamu benar-benar pergi.
((bukan apa-apa))

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang