langkah

470 51 45
                                    

Getir tercecap samar. Hembusan angin pukul dua belas malam nyatanya tidak mendinginkan kepala Fano. Pikiran berkelana jauh bersama riak awan yang berjalan pelan menghiasi langit segelap bola matanya. Helaan napas panjang keluar seiring asap tipis dari tembakau yang dibakar.

"Aku kira yang susah itu buat kamu cinta sama aku, ternyata bikin mama ngerti keadaan kita justru lebih sulit." katanya bicara pada kesunyian.

Di teras rumah, Fano duduk seorang diri berteman segelas jeruk hangat dan rokok. Suara jangkrik serta dengung nyamuk jadi irama alam selain desau angin. Sesekali tukang nasi goreng atau sate lewat menawarkan dagangan, atau tetangganya yang baru pulang lembur kerja menyapa sekilas dan dibalas senyum tipis serta anggukan singkat.

Pandangan mengawang. Gelapnya langit selaras dengan gelap pikiran yang dilingkupi ketakutan akan perpisahan. Fano tidak siap memilih, tidak siap jauh dari salah satunya, dan tidak siap untuk menjauh.

Antara mama dan Iyok

Pilihan seperti antara dicekik atau tahan napas. Akhirnya sama; kematian baginya.

Fano menjentikkan ujung tembakau di asbak. Membiarkan sedikit abu rokoknya terbang oleh angin. "Semua ga segampang yang dipikirin. Kenapa kita harus sama kalau akhirnya cinta itu ada dan perpisahan jadi jawabannya, Yok?"

Setelah kejadian tadi siang, Laura mendadak meneleponnya. Mengajak untuk bertemu untuk sekadar menjalin komunikasi yang memburuk pasca putus. Tentu Fano tolak. Ada hati yang harus dijaga, ada pikiran yang harus diluruskan, dan ada benang rumit menunggu untuk diurai.

"Sebentar aja, Fano. Ketemu di cafe biasa, ya?"

"Maaf, Ra, ga bisa." ucapnya pelan. Lirih sekali bak ada kesakitan menyertai untaian kalimat yang keluar.

Di ujung sana, helaan napas terdengar. "Aku cuma mau tau kabar kamu aja, Fano."

"Kabarku baik. Kan tadi aku udah bilang." rasa enggan melanjutkan percakapan semakin besar.

"Pengen liat kamu, mata kamu, senyum kamu, Fano."

Fano pusing. Pikirannya penuh Iyok dan mama yang bergantian bak kolase. "Next time. Aku beneran ga bisa sekarang."

"Besok?"

"Ra, please."

"Kamu kenapa? Ga biasanya nolak kalau aku mau ini sama itu. Care kamu ga ada lagi buatku kayaknya."

Remasan di kaki piano semakin menguat. "Peduliku ke kamu masih sama, selalu. Sekarang aku lagi banyak pikiran."

"Bagi sama aku, Fano. Kita bisa bicarain dan cari jalan keluar bareng-bareng."

"Makasih buat tawarannya. Aku mau selesain ini pakai caraku. Maaf ga bisa penuhin ini dan itu dari maumu, semestaku bukan kamu lagi." Panggilan itu diputus sepihak. Fano melempar ponsel ke kasur lalu kembali rebah pada lantai.

Dan sekarang, pukul satu dini hari. Satu jam ia habiskan merenung tanpa fokus yang jelas di teras. "Kenapa mau hidup sama kamu sesulit ini, Yok? Bahkan dimulai aja belum tapi aku udah ngerasain lelah."

Tembakau di antara jari telunjuk dan tengah tinggal setengah. Habis dihisap angin dan luruh bersama angin pula. "Kayaknya kisah cinta orang mulus-mulus aja, kenapa kita enggak?"

Pertanyaan yang tidak mendapat jawaban. Pertanyaan yang meluap seiring hembusan asap tipis dari belah bibirnya. Pertanyaan diakhiri helaan frustasi.

"Akhirnya emang gini kali, ya?" gumam yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

TBC

⌨ 18 April 2020

[A/N]
Dengan berat hati, aku bakal stop nulis work lain sampai Cemilan tamat.
Aku harap beberapa hari ini bisa selesai untuk Cemilan dan bisa fokus ke Singularity yang aaku targetin ada 16 chapter lalu Jodoh dari Tuhan dengan 10 Chapter. Kemungkinan Be a Good Daddy Hiatus karena mau puasa, jadi aku hormati pembacaku yang muslim biar bacaannya ga 4646, wkwkwk.

Selain itu, aku ga akan buat work baru dulu biar ga ada utang. Aku minta maaf udah buat kalian kecewa dengan keputusanku ini.

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang