Rokok terakhir di penghujung hari. Fano masih betah duduk di depan jendela sambil pegang lintingan tembakau yang baru setengah dihisap.
Bunyi kucuran air dari kamar mandi menjadi penanda bahwa ia tidak sendirian. Seketika pintu kamar mandi terbuka, seketika itu juga bau buah segar memenuhi udara. Bahkan mengalahkan asap rokoknya.
"Dingin banget. Mandi sekarang kalau gak mau masuk angin." Iyok lalu menyampirkan handuk bekas pakainya ke bahu Fano.
Menelisik acuh, malah kembali fokus sama hisapan yang tertunda. Iyok mendengus. Beralih ambil ponsel yang tergeletak apatis di meja.
"Rokok kedua, kan?"
Fano mengangguk. Menikmati rasa damai dan relaks setelah mengisap lalu menghembus bakaran tembakau aroma menthol.
Iyok mau saja ambil paksa, sebab sedari tadi dikasih kacang. Sebal, bos.
"Cuekin aku mending anter pulang. Di sini jadi makhluk kasat mata." Sarkas Iyok.
Fano mendekat. Tangannya malah jatuh ke rambut basah Iyok. "Aku bau rokok. Gak mau deket katamu waktu itu."
"Gak mau deket bukan berarti gak ngobrol dong, bodoh."
Fano terkekeh. Mematikan rokok ke asbak dan mengusap rambut Iyok. "Pake sabun aku?"
Mengangguk jadi balasan jawab.
"Pantes. Aromaku di badan kamu."
Iyok mendongak. "Suka?"
"Jelas."
Lalu diisi hening.
Iyok menarik ujung baju Fano. "Jangan tiap hari ngerokok, bisa?"
Fano menghela napas. Selalu bahasan ini diungkit ketika Iyok merasa jengah dengan keadaan kamar Fano yang penuh puntung rokok.
"Dua batang dari satu bungkus udah cukup harusnya. Kamu mau siksa aku apa gimana?"
Iyok menggeleng. Menarik tangan Fano di atas kepalanya dan meletakkan handuk di pangkuan. "Mau lama sama kamu. Ngerokok buat pendek umur. Nanti belum tua malah penyakitan."
"Biar gak kena impoten?"
Pukul Fano dengan handuk. Iyok sebal, Fano otak selangkangan sekali.
"Pelan-pelan, Mbul. Dipaksa berenti malah jadi sakit juga akunya. Inget pas drastis dikurangi?"
Ingatan itu melayang pada kejadian satu setengah tahun lalu ketika ultimatum Iyok untuk Fano hanya boleh menghabiskan rokok dua batang dari sebungkus dalam sehari, Fano langsung hilang nafsu makan dan berakhir sakit.
Sakitnya sih gelisah. Bukan geli-geli basah. Fano biasa merokok tiap sebelum makan, maka ketika dilarang ngerokok dia jadi malas makan.
Berakhir Fano rewel meminta Iyok buat toleransi yang berujung pada mufakat kalau dua batang rokok sehari, baik ada atau tidak adanya Iyok di sisi Fano.
"Jadi mau begini terus? Gak sayang paru-paru?"
Fano menangkup rahang Iyok agar mendongak. "Sayang kamu aja."
Iyok lepas tangan yang menjerat pipinya. "Sayang aku tapi gak sayang kalau aku juga jadi perokok pasif. Itu lebih bahaya dari yang aktif."
"Hoooh, buat seminar kesehatan ini?"
Lidahnya berdecak. Fano batu sekali. "Terserah. Misalnya aku kena sakit karena ulah asap rokok, kamu harus tanggung jawab."
"Kamu aja gak tanggung jawab sama perasaanku. Main skak aja, enak banget jadi kamu."
Iyok mencubit perut Fano. "Ngebantah terus. Diingetin buat kesehatan malah bandel."
Fano mengusap perutnya. "Sakit, Mbul. Langsung ke ginjal, nih. Kamu mah enak ada lemak."
Ikutan merintis sebab sepertinya sakit sekali. "Sini aku liat."
Menarik baju sampai dada, bekas bulat keunguan tercetak. "Yah, malah bekas cupang tanganmu."
Iyok mengusap bagian yang berwarna paling mencolok. "Maaf."
"Dipeluk sampe tidur bisa buat sakitnya reda." Celetuk Fano.
"Udah berani ancem?"
"Enggak. Aku kasih penawaran daripada minta tanggung jawab buat kompresin."
Iyok mengangguk lalu menyuruh Fano mandi. Mereka akhirnya melupakan soal rokok, sakit dan tanggung jawab perasaan yang ngambang.
Lagi-lagi, pelukan diberi sebelum kepastian dideklarasi.
END
23 Januari 2020
[A/N]
Jadian gak jadian tetep dapet peluk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemilan | FaYok vers ✔
Humor2019, Cerita singkat dua anak adam yang ngakunya sahabat tapi saling kode ambigu. *debut story; 16/10/2019 on Stupid F *debut work; 23/10/2019 *graduation; 02/05/2020 _______________ story; kejukopi original cover; tumblr design cover; kejukopi