jawab

697 64 63
                                    

Gorden melambai terkena angin. Matahari cukup tinggi menandakan pagi telah mengganti malam. Semarang, awal musim hujan tertanggal dua puluh lima, Iyok terbangun dengan senyum lebar menghias bibirnya. Kicau burung jadi suara yang membangunkannya dari tidur nyenyak.

Singkat namun tidak akan terlupakan. Iyok memang tidak banyak berbuat untuk kebebasan hidup yang akan ia jalani sekarang, tapi ia turut merasakan damai dari terjangan badai panjang yang menghantamnya beberapa bulan ini. Perkara mamanya, mama Fano, Laura, Anjas, fans, cemburu, amarah, bahkan sampai tetes air mata dihapus oleh orang yang sama atas penyebab di atas; Fano.

Iyok mengerjap. Udara dingin dari suhu rendah Ac menyentuh kulit putihnya. Pandangan mata langsung jatuh pada sosok lelaki yang masih terbuai mimpi di sisinya. Helaan napas pelan yang teratur dikeluarkan, dadanya melega, hatinya menghangat, jiwanya tentram.

Kilasan balik kejadian buruk berputar bagai film rusak dan digantikan oleh senyum tulus Fano di ujung jalan penantiannya. Fano di sana; mengulurkan tangan, memberi pelukan hangat, menawarkan kebahagiaan tanpa akhir. Fano di sana; menjadi rumah setelah banyak tempat singgah yang pernah Iyok sapa dengan ramah.

"Apa ini nyata?" Iyok memenjarakan wajah Fano di kedua telapak tangannya. "Maksudku, aku yang biasa ini dicintai sebegitu besarnya sama kamu, apa aku pantes?" monolognya. "Kamu udah ngelakuin banyak hal sampai tindakan yang ga pernah aku bayangin, Fano. Bahkan kalau kamu nyerah juga aku ga bakal benci sama kamu." Iyok menyentuh lembut rambut Fano.

"Fano, bangun." bukan jenis suara untuk mengembalikan seseorang dari alam mimpi, Iyok hanya berdialog dengan dirinya sendiri. "Mimpi kamu, mimpi aku, mimpi kita bakal jadi kenyataan. Aku sadar kalau sejauh aku jalan buat jauh dari kamu, kamu malah lari buat peluk aku. Fano, terima kasih." jemari Iyok turun ke dahi Fano. Kebiasaan si jelaga kalau tidur pasti dahinya berkerut, seolah dalam istirahatnya ia tetap berpikir suatu hal. "Aku mau sekarang kamu ajak aku juga buat ambil langkah besar buat hidup kita. Aku mau jadi bagian cerita hebat di kisah ini, Fano. Sekarang kamu punya aku buat tempat berbagi, kita satu dan selamanya." elusan itu berhenti di pipi tirus lelakinya.

"Selamanya, hm?" Fano langsung membuka mata dengan suara berat khas bangun tidurnya Iyok berjengit kaget.

Tangan manisnya yang masih mengelus pipi langsung Fano genggam, dibawa ke dalam eratnya tautan penuh hangat.

"Fano, kapan bangun?" Iyok mencoba menyembunyikan rasa malu.

Kekehan berat yang lembut. "Um, kapan, ya? Ga tau. Kayaknya pas kamu tanya ke diri sendiri soal hubungan kita ini nyata apa enggak deh."

"Iihh, kalau udah bangun harusnya melek, malah pura-pura tidur lagi kamunya."

Fano memeluk Iyok sampai manisnya rapat dengan dada. Dagu ditumpu ke kepala Iyok. Tangan melingkar sepanjang punggung dan berhenti di pinggang. "Dengerin aku," Fano mengelus kepala Iyok dengan tangan lainnya yang menganggur. "Detak jantung yang lagi kamu denger ini sekarang juga jadi milik kamu, bahkan dengan napas yang aku punya. Kamu ga perlu ragu lagi sama aku. Ya, emang sih aku suka becanda, tapi buat cinta sama kamu, aku ga bakal sebercanda itu, Yok."

Si jelaga menghidu aroma berry bercampur kayu manis dari tubuh Iyok. "Aku emang ga sehangat mentari pagi, ga indah kayak pelangi setelah hujan, ga sedamai malam, tapi aku udara yang buat kamu tergantung sama aku. Kamu semestaku dan aku udara kamu. Kita bisa hidup kalau sama-sama terus, jadi jangan pernah berpikir sedikitpun buat pergi." Fano mengecup pelipis Iyok. "Kamu bener, kalau kamu jalan buat jauh dari aku, aku bakal lari kejar kamu sampai dapat."

Iyok mengeratkan pelukan. Sebelah tangannya mengusap dada Fano yang bergerak naik turun seiring tarik dan hembusan napas. "Sekarang aku ga bakal nyangkal lagi kalau emang aku cinta sama kamu, Fano. Aku bisa lupain masa lalu dan buka lembar baru buat kita, No." Iyok menempelkan telinga ke arah degupan jantung Fano. "Ini pas." lirihnya. "Kayaknya emang sejak liat kamu dulu di burjo, kamu emang masuk suka rela ke kehidupan aku tanpa aku sadarin.

Keduanya menikmati pagi dengan damai. Iyok duduk bersila diikuti Fano. "Pegang erat-erat." Iyok mengeratkan genggaman tangan. Mereka saling menatap penuh cinta.

"Misalnya aku ga nemuin kamu di burjo waktu itu, mungkin kisah ini ga pernah ada, ya?" Fano mengusap punggung tangan Iyok dengan ibu jarinya. "Tahun kita lewatin sama-sama, bahkan ga pernah terasa lama. Masih berasa kayak baru kemaren kita ketemu. Selalu bahagia aku lewatin hariku sama kamu, Yok."

Iyok tersenyum manis dengan mata berkilau cerah.

"Erza pernah bilang ke aku kalau semenjak ada kamu, hidupku ga lagi hitam sama putih. Ada merah, kuning, dan abu-abu. Terima kasih udah hadir, Yok." Fano menjepit dagu Iyok. "Liat aku." jelaga mengunci caramel pada satu garis pandang. "Aku cari beberapa jawaban dari banyak pertanyaan 'akan gimana kita setelah ini?' dan kamu tau apa hasilnya?"

Bungsu dari tiga bersaudara itu menggeleng kaku.

"Kita ambil langkah besar untuk masa depan. Kamu setuju? Ga cuma aku, kita, Yok, kita. Kamu  jangan ragu, raga sama hidupku sekarang milik kamu juga." Fano meremas lembut tangan Iyok.

"Kamu mau hidup sama aku selamanya? Berdua kita bangun rumah yang isinya kamu, aku, dan kebahagiaan. Kita buat surga dalam istana itu. Dua raja dalam tahta yang sama ga buruk kok."

"A-apa kamu lagi ngelamar aku?" tanya Iyok hati-hati.

"Dengerin aku." si jelaga mengusap punggung tangan kiri Iyok. "Kamu mau aku ikat cuma buat aku? Pilihannya cuma iya atau iya. Kalau mau, sekarang juga bakal ada perhiasan di jari yang ini." tangannya menunjuk jari manis kiri Iyok. "Apa yang ada di pikiran kamu sekarang?"

Iyok memukul pundak Fano dengan lelehan air mata membasahi pipi. "Bisa ga kamu kalau mau ambil tindakan itu bilang aku dulu? Aku juga mau berjuang sama kamu, ih."

Fano tertawa sembari diam-diam mengeluarkan sesuatu dari kantong celana. "Ya, abisnya aku ga sabar mau jadiin kamu permata di rumahku, rumah kita."

"Dasar. Seenaknya sendiri tapi ga pernah buat aku capek cinta sama kamu."

"Iya iya, tuh udah aku iket kamu. Jangan pergi loh."

Iyok menunduk. Di jemarinya sekarang dihias cincin perak dengan desain sederhana namun indah. "K-kamu.."

"Aku seriusan, sayang. Sama aku buat bahagia berdua, mau?"

"Fanoooo.." nada merajuk itu sangat menggemaskan.

"Jawabannya, mbul."

"Apa ada pilihan buat nolak? Kamu aja kasih opsi iya atau iya."

"Jadi?"

"IYAAAAAAA..." Iyok berteriak sambil memeluk leher Fano.

Sementara itu, Adit dan Julio tersenyum dari balik pintu mendengarkan untaian janji yang Fano tawarkan untuk Iyok. "Kita jadi iparan nih, mas." celetuk mas Adit.

Mas Julio mengangguk ringan. "Hu'um."

"Mas, masih ga nerima hubungan mereka?" tanya mas Adit pelan sembari mereka melangkah menjauhi kamar Fano.

"Buat nolak sekarang udah ga bisa juga. Mereka siap nerima konsekuensi, yaudah biarin aja. Mereka udah tau kesulitan buat kedepannya tapi masih juga mereka jalanin hubungan begini, terus aku harus apa? Udah pada gede, dikekang mustahil pada nurut."

Mas Adit tersenyum sambil menepuk punggung lelaki yang lebih tua. "Sepakat. Buat pisahin mereka ga bakal buat keduanya nyerah. Percuma. Seenggaknya walau mas Julio ga dukung seratus persen, mas jangan jadi penghalang loh. Biarin aja, kita cuma bisa liat kedepannya kayak apa mereka."

"Hu'uh, kita liat aja."

Mimpi yang jadi nyata ketika harapan bisa digenggam. Dengan cinta, kerasnya hati bisa luruh. Segala hal tentang dirinya terasa benar; tawa, kerlingan mata, debar, sipu malu, dan banyak lainnya.

END

⌨ 25 April 2020

[A/N]
Segini dulu ya. Aku lagi nyiapin materi buat sidang skripsiku.
Kita jumpa lagi lusa atau nanti dengan Cemilan part 197. Selamat malam minggu...

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang