lelah

801 76 22
                                    

Nyatanya kedua anak adam ini terjebak dalam pikiran penuh spekulasi tanpa bukti yang mendasar. Pertanyaan tanpa jawaban bermunculan seiring kata 'kenapa', 'mengapa', dan 'bagaimana' beriringan teriak dalam kepala.

Menyesal karena cemburu buat rindu semakin memburu sebab jarak terbentang tanpa batas dan tanpa balas.

Iyok memeluk lututnya. Sapu tangan tergelak sedih di tengah ruangan. Terasa dingin udara memeluk tubuh yang hanya berbalut kaos tipis dan jatuh terduduk dengan luka batin yang terbuka menganga.

Isakan kecil berubah menjadi tangis yang menyayat nurani. Sendiri dalam sunyi membuat anak bungsu yang biasa dimengerti ini paham artinya mendengarkan dan memahami.

Membenci bagaimana hari bergulir sangat cepat. Pahit yang dicecap dari pagi semakin terasa getir di lidah ketika malam menjelang. Hari dibuka dengan seorang perempuan yang sempat merajai hati Fano dan penutup hari dengan bantingan pintu dari lelaki yang sekarang memenuhi hatinya.

Ponsel di atas kasur menyala. Panggilan dari Fano. Iyok menghapus jejak air mata dan mengatur napas sebelum menerima panggilan.

Klik
"Halo, Iyok?" suara berat dengan sarat lembut yang Iyok rindukan menyapa gendang telinga. Rasanya sudah lama tidak mendengar perhatian lewat nada kasih yang Fano hantarkan. Meski tadi sempat bertemu, justru teriak serta caci maki yang penuhi ruangan.

"Fano." lirih Iyok.

Helaan napas Fano terasa sampai telinga Iyok. "Maaf."

Iyok menggeleng meski tidak bisa dilihat Fano. "Aku salah, Fano. Maaf."

"Masih nangis, hm?"

Iyok mengangguk. Masih belum sadar kalau Fano tidak di dekatnya.

"Buka pintu, mbul. Aku bawa teh anget sama kue kering kesukaan kamu. Mau?"

Melempar ponsel ke atas kasur, Iyok segera membuka pintu kamar. Dan benar saja, lelaki yang sudah mengacaukan logikanya berdiri dengan dua tangan sibuk membawa gelas serta toples.

Fano melangkah masuk. Meletakkan bawaannya di nakas lalu memungut sapu tangan yang masih ada di posisi sama seperti sebelum ia pergi.

"Diminum dulu." Fano menunjuk gelas berasap mengepul dengan bibir.

Iyok menggeleng. "Mau peluk." cicitnya.

Fano ikut menggeleng. "Elap ingusnya terus kamu minum teh yang aku bawa."

Tangan Iyok tengadah meminta sapu tangan yang Fano masukkan lagi ke dalam kantong.

"Kotor, sayang. Pakai tisu aja."

Iyok menarik selembar tisu lalu mengelap wajah yang terasa lengket. Menerima gelas bersuhu hangat dari Fano, Iyok meneguk pelan-pelan cairan coklat beraroma bunga melati.

"Atur napas kamu." Perintah sarat lembut itu Iyok turuti.

Dirasa Iyok sudah tenang. Fano berlutut di depan Iyok. Menatap penuh puja lelaki yang lebih muda dengan pancaran mata sayang.

"Aku mau ngomong, Fano. Dengerin."

"Sstt ..." Fano menempelkan jari telunjuk di bibir Iyok. "-dengerin aku dulu ya, mbul."

"Semalem abis nganterin Faros pulang, aku gak sengaja ngeliat Laura keluar dari bar. Jalannya sempoyongan. Jam dua belas malem, mbul. Tengah malem, perempuan jalan sendirian di tempat sepi, dan mabuk. Apa nuraniku mati buat nolongin dia?"

Iyok tidak bereaksi, tetapi matanya berkaca-kaca.

"Aku mau anterin dia pulang, cuma dia gak mau. Katanya berantem sama keluarga. Aku bingung mau nganterin dia kemana, akhirnya aku putusin buat bawa ke rumah. Sampe rumah ada mama lagi nonton tv dan dia jelas kaget aku bawa Laura yang mabuk. Mama nyuruh aku bawa Laura ke kamarku aja dan aku tidur di sofa. Selepas kasih mama baju aku yang bersih, aku keluar dari kamar dan gak balik lagi. Yang gantiin baju Laura itu mama, yang ngurus muntah Laura juga mama. Aku gak ngeliat apapun dari tubuh Laura, mbul." Tangan Fano menggenggam kedua tangannya. Meremas dengan penuh emosi sedih serta bimbang.

Iyok bisa merasakan dari getar telapak tangan dingin Fano yang meremas punggung tangannya. Ada khawatir, bingung, takut, dan pasrah.

"Tolong kamu paham. Aku gak kasih tau kamu karena aku gak mau kita marahan. Lagian kamu dateng pas aku di kamar mandi jadinya gak ketemu. Mau hubungin kamu semalem juga pasti kamu udah tidur dan aku gak mau ganggu istirahat kamu."

Tangis Iyok pecah. Menutup mulut dengan telapak tangannya sebab isak yang keluar tidak bisa dikontrol pelan. Sesenggukan dan napasnya kembali tidak teratur.

Fano menarik Iyok untuk masuk dalam pelukan. Mengusap penuh kelembutan punggung Iyok yang bergetar, Fano menggumam kalimat menenangkan.

"Kamu harusnya chat aku aja biar aku bisa baca paginya. Kata kamu kita harus terbuka. Apa aku gak bisa kamu percaya buat berbagi?" Suara Iyok bergetar.

"Aku cuma gak mau salah paham kalau baca dari chat. Niatku mau ketemu kamu abis sarapan."

Iyok menggeleng. "Salah emangnya kalau aku cemburu? Salah kalau misalnya aku marah? Aku percaya sama apa yang aku liat dan apa yang aku denger, Fano. Kamu gak kasih penjelasan apapun sampe malem ya jelas aku mikir aneh-aneh."

Iyok meremas kain pakaian Fano bagian punggung. "Aku cinta sama kamu, Fano. Aku takut kehilangan kamu. Aku mau sayang sama kamu kayak kamu sayang aku."

Basah bahu Fano akibat air mata Iyok. Fano memeluk Iyok semakin erat.

"Aku takut kehilangan kamu sampai buta sama kenyataan dari penjelasan kamu tadi. Maafin aku, Fano. Maaf."

Fano mengurai pelukan. Menghapus jalannya air mata dan mengecup mata Iyok yang semakin membengkak. "Aku gak akan sembunyiin apapun dari kamu lagi. Setiap ada hal yanh kiranya perlu kamu tau, aku bakal langsung kasih kabar." ucap Fano setelah manik caramel terbuka.

"Aku percaya kamu asal jangan berkhianat, No. Aku gak mau yang lain. Maunya kamu."

Fano kembali memeluk Iyok. Membawa manisnya pada hangat dekapan yang Fano tawarkan.

END

20 Februari 2020

[A/N]
Ayo mampir ke TARGET

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang