kita sekarang

606 56 33
                                    

Setiap fonem kemudian meluncur layaknya selongsong yang terlepas dari magasin. Semakin tumpah, semakin hancur, dan menggigil suaranya. Begitu sadar, namun terlambat, kita tak bisa menghentikan untaian kalimat yang keluar layaknya peluru yang melesat. Sebab kini, kita begitu tuli pada bising dan riuhnya senandung kasih yang akhirnya menemukan muara. Tersampaikan pada nawala oleh bulan purnama dan bintang sebagai saksi atas janji yang diucap tepat di depan bibir yang sebelunya dikecup kilat.

Iyok POV
Selalu, sepanjang malam hanya aku berteman sepi dan sunyi. Hari ini, entah berapa banyak lamunan sebelum tidur yang kuhabiskan hanya untuk memikirkan kelakuan atas satu nama: Fano.

Ada banyak tanya yang masuk dalam kepala tentang; kenapa harus dia? Ada apa sebenernya? Bagaimana ini bisa terjadi? Akankah semua nyata?
Sebab, yang aku tahu bahwa..
Candaan Fano itu berdampak pada diriku.

"Dek." ketukan di pintu menyadarkan. Aku melangkah gontai untuk mempersilakan mama masuk.

"Belum tidur kamu?"

Aku menggeleng.

"Tadi Fano telepon, katanya kamu ga bisa dihubungin." adunya.

Aku lantas memeluk mama. Dirasa dengan jelas mama terkejut sebab badannya menegang.

"Adek kenapa?" tanyanya. Usapan lembut di kepala belakang buat aku mati-matian menahan tangis. Ada sesak yang kian mendesak untuk meledak.

Kulepas pelukan lalu membawa mama untuk duduk di kursi kayu yang ada di dekat kasur. "Mama nerima Fano untuk aku?" tanyaku tiba-tiba.

Senyum lemah di wajah yang sudah kulihat puluhan tahun itu terbit perlahan. Tanganku digenggam. "Yang buat adek bahagia juga bakal jadi bahagia mama." katanya halus bak suara dewi dari surga.

Kubalas genggaman itu. Tangan yang merawat, membesarkan, mengajarkanku arti hidup itu kukecup tiap buku jarinya. "Mama kecewa sama pilihan Iyok ini?"

"Dari awal mama tau persahabatan kamu sama Fano ga sama kayak mas Adit ke temennya atau kamu ke temenmu yang lain." Sorot mata teduh yang terkena sinar bulan di manik mama buat aku terdiam. "Pernah beberapa kali mama ajak Fano ngomong soal kedekatan kalian. Dia ragu. Bukan, bukan soal hati. Mama yakin dia sebenernya paham sama dirinya sendiri. Fano tipe orang yang tau keadaannya dan itu bagus, tapi Fano ragu buat cerita ke mama yang sejujurnya." helaan napas lolos. "Fano cuma bilang buat jagain kamu atas dasar persahabatan. Kamu kira mama percaya? Hahaha.." Terselip tawa bernada getir.

"Jadi mama ke Fano itu.."

"-mama pernah liat dia gemes sama kamu sampai remes jaket pas kamu masak telor gosong waktu itu. Pandangan mata dia teliti banget ngawasin pergerakan kamu, mungkin takut kamu luka. Ada sahabat yang begitu? Atau pas dia bangunin kamu. Ya, awal-awal emang dia bangunin kamu kasar banget kayak nimpain badan kamu, loncat-loncat di kasur, tapi beberapa bulan terakhir dia jauh lebih lembut. Maaf, dek. Mama ga sengaja liat dia tatap kamu lembut sekali sambil usap kepala kamu biar kamu bangun."

Aku tanpa sadar melotot dan itu menyemburkan tawa dari mama. Kesal sekali, aduh malu.

"Adek, yang buat kita bahagia harus dipertahankan. Soal salah atau bener di masyarakat itu ga jadi penentu kebahagiaan kita. Apa sih tolok ukur ini bener atau salah? Cuma kesepakatan bersama yang dilakuin dari jaman dulu terus dianggap benar sama sebagian besar orang, kan?" mama menepuk punggung tanganku. "Manusia itu bergerak, statis. Sekarang bilang A, besok udah B. Hukum di masyarakat bisa juga berubah. Kamu sama Fano kuat-kuat. Kalian minoritas tapi bukan berarti ga bisa bahagia. Kamu udah gede, dek. Bersikap seperti dimana kaki kamu berada."

Aku mengangguk. "Makasih, ma. Makasih buat dukung keputusan adek. Adek sayang mama." Kupeluk erat perempuan yang sudah memperkenalkan dunia padaku.

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang