Iyok berdiri seraya bertolak pinggang. Fano menggaruk pipi kemudian membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai.
"Maaf, mbul. Licin tadi makanya jatoh."
"Bandel sih. Kan aku bilang tunggu aku, ngeyel." Iyok mendumel lalu membiarkan Fano menyapu bersih pecahan piring keramik. "Hati-hati, nanti kakimu yang kena."
Setelah membereskan kekacauan, Fano menarik tangan Iyok untuk ke kamar. Duduk berdua di kasur, berteman lagu indie dari speaker bluetooth yang Fano nyalakan. Keduanya saling tatap tanpa kata yang keluar.
"Apa sih? Ngeliatnya gitu banget. Emangnya aku pisang?" Iyok menutupi mata Fano pakai telapak tangannya.
"Loh, aku monyet dong."
"Bukan aku yang bilang."
"Yaudah, kamu pacarnya monyet." Fano memeletkan lidah dengan muka yang super menyebalkan.
Perang bantal tak terhindarkan. Mereka saling pukul dengan bantal dan tawa nyaring hiasi siang menjelang sore hari ini.
Lelah meloncat, berlari kecil, sampai napas tersengal, keduanya rebah di kasur yang tak berbentuk lagi sebab sprei dan selimut yang jatuh mengenaskan di lantai.
Fano memalingkan wajah guna menatap muka Iyok secara penuh. "Yok, sekarang aku ngerti."
Alis yang lebih muda menyatu.
"Aku ngerti rasanya nungguin orang yang berarti buat hidupku."
Sapuan rona menghiasi pipi Iyok. "Apaan sih?" katanya coba berkilah.
"Selama ini aku nunggu, Yok. Nunggu hatiku kuat buat nerima keadaan kita, nunggu kamu mau sama aku, terus nunggu waktu yang pas buat bilang ke semua orang tentang kita." Fano mengajak Iyok untuk duduk. "Berapa lama lagi aku harus nunggu buat kamu mau tinggal selamanya sama aku?"
"Hah?"
"Iya, kamu. Kapan kamu siap buat jadi permata di rumahku?" Fano menarik tangan Iyok untuk dibawa pada genggaman. "Kali pertama kita ketemu waktu itu, sebenernya aku udah terpesona sama kamu, tapi akunya ga begitu sadar. Aku liat kamu dan langsung kebayang serunya hari yang bakal kita lewatin sebagai temen."
"Fano..."
"Yok, penantian buat jadiin kamu temen biasa harus diakhiri. Ayo, jadi temen hidupku."
"Fano, sebentar. Ini ga kecepetan? Ya, emang aku mau hidup sama kamu, tapi ini baru sebulan kita jadian. Masih banyak waktu buat saling kenal."
"Jadi kamu masih tega biarin aku nunggu lagi?"
"Ga gitu, astagah. Kita emang kenal udah lama, tapi sebagai temen. Kita harus kenal lebih jauh lagi sebagai pasangan. Ga mau kan nantinya kamu nyesel ngajakin aku hidup bareng kalau ternyata ada sikapku yang kamu taunya belakangan?"
Buku jari Iyok dikecup lembut. "Aku cinta kamu karena kamu. Baik buruknya kamu aku terima."
Iyok menyisir rambut Fano. "Kita punya waktu selamanya buat sama-sama. Nikamatin yang ada. Aku milik kamu dan selalu begitu."
Fano menggeleng. "Aku egois kalau berkaitan sama kamu." Fano mengusap pipi Iyok. "Aku mau jadi rumah kamu, tempat paling nyaman buat istirahat terus berbagi resah. Aku pikir aku muaki gila, Yok. Obsesiku ke kamu ternyata lebih gede dari ego yang aku kasih makan. Aku tau aku harus berenti. Aku tau aku harus berenti, tapi aku ga bisa." Pandangan mereka bertemu. "Aku terlalu terbiasa sama keberadaan kamu. Napasku sesak kalau bayangin kamu ga ada lagi di hari-hariku."
Hanya itu, kemudian Fano merasakan wajahnya didekap oleh kedua tangan hangat kekasihnya. Bibirnya dipertemukan belah bibir lainnya. Ciuman lembut sarat akan sayang. Hanya sentuhan sederhana yang mampu meleburkan sanubari. Kening keduanya bertubruk halus.
Iyok tersenyum, namun matanya meneteskan air. "Kalau gitu, jangan berenti cinta sama aku."
Degup jantung mereka bertalu keras. Saling menyelami satu sama lain dan menelisik satu per satu obsidian, berusaha mencari kata lewat makna yang ada. Saling bersibobrok menyelaraskan fiasko.
Fano terlambat menyadari ketika remat pada rambutnya akibat ulah Iyok kembali mempertemukan wajah mereka, perlahan mengeliminasi jarak.
Rasanya seperti gula kapas. Bibir Iyok terlampau manis. Aroma cinnamons serta buah berry mendominasi paru-paru Fano sampai sesak akan bahagia.
Sedangkan lelaki satunya, hampir terpelanting dari realita ketika lidahnya ditarik lembut oleh si pemilik hati. Menthol segar terasa pada cecap. Gerak luwes, tanpa canggung, dan terindikasi candu. Bulu mata Fano menggelitik pipi Iyok. Segalanya terasa narutal.
Tidak bisa berhenti mencumbu, Fano menarik pinggang Iyok untuk mendekat, masuk dalam dekap. Yang lebih muda hanya menerima dengan jantung berdebar antusias. Setiap kecupan serta kecipak yang tercipta terasa begitu manis dan semakin manis. Melayangkan perlahan satu per satu berkas akal sehat tiap kali mendapati posisi ternyaman.
Paru-paru menyempit, mereka butuh udara. Lantas ketika wajah keduanya berjarak, Fano bisa melihat cantik paras Iyoknya.
Diusap dengan ibu jari saliva yang berjejak di pinggir pipi kekasihnya, Fano berikan tatapan lembut. "Kita nanti bakal begini terus kan, Yok?"
Diambil tangan si jelaga, "Pasti." lantas punggung tangan pemilik hati diberi kecupan bertubi-tubi. "Kita nanti bakal bagi hangat pas malam, cerita soal hari yang dilewatin, sampai ketawa padahal ga ada yang lucu."
Fano mengusap pucuk kepala Iyok. "Kita nanti sampai tua kan, Yok?"
Yang lebih muda tahu kalau kekasihnya sedang tidak percaya diri, "Iya, sayangku. Kita nanti sampai tua duduk di kursi goyang, liatin sore hari sama-sama. Ceritain cerita yang dibahas puluhan kali karena cuma itu yang diinget. Bahagia sama-sama, tua sama-sama. Kamu sama aku; kita."
"Jadi, mau secepatnya nikah sama aku?"
Iyok mencubit pinggang Fano. "Baru juga dibilangin buat pelan-pelan aja, malah ngegas banget kamunya."
Fano mengulum bibir dengan pandangan sendu ke arah lain.
"Iya, iya, Fano. Ayo, nikah. Ayo, hidup selamanya sama-sama."
Lalu pelukan erat jadi penguat benang merah mereka sampai cerita ini berakhir.
END
⌨ 02 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemilan | FaYok vers ✔
Humor2019, Cerita singkat dua anak adam yang ngakunya sahabat tapi saling kode ambigu. *debut story; 16/10/2019 on Stupid F *debut work; 23/10/2019 *graduation; 02/05/2020 _______________ story; kejukopi original cover; tumblr design cover; kejukopi