perihal mama Nawa

623 55 38
                                    

Setelah mengantar Iyok pulang, Fano bergegas melakukan mobil menuju rumah Faros. Di kosan lelaki berkulit putih itu sedang kumpul teman-temannya yang lain. Wayan, Yoni, Alvin, dan, si penyewa kost ingin menghabiskan malam minggu sambil bermain game atau ngobrol ngalor-ngidul sampai pagi.

Memarkirkan mobil di pekarangan, Fano bisa melihat Anjas duduk bersila sambil ditemani secangkir kopi. Mau tak mau Fano harus menyapanya seakan tidak terjadi perseteruan di antara mereka. Ya, Fano sempat memukul Anjas sampai pemuda tinggi besar itu demam tiga hari.

"Eh, No?" terkejut tidak bisa dihindari.

"Kalem aja. Gue udah lupain yang kemaren itu kok." Fano melirik pintu kamar Faros yang tertutup. "Anak-anak kemana?"

"Di dalem. Pada ngebokep. Ga join?"

Fano jelas menggeleng. "Lu?"

"Lagi ga mood."

Si jelaga mengambil posisi untuk duduk bersebelahan dengan Anjas. Kembali menyalakan rokok seraya menyender malas ke pembatas tembok. "Gue udah jadian sama Iyok. Gue harap lu bisa tau posisi lu sekarang." katanya santai namun nyelekit sekali.

Ada tawa sumbang yang Anjas keluarkan. Kekehan seperti kakek kena asma jadi pembuka kalimat Anjas. "I-iya, No. Gue juga udah tau diri kok."

Tepukan di punggung dari Fano seolah memberi Anjas kekuatan untuk mengobati luka akibat hati yang patah sebelum diutarakan.

.
.
.

Pagi harinya Fano pamit pulang lebih dulu pada teman-temannya yang masih setengah sadar sebab terlalu banyak minum alkohol dan begadang sampai subuh.

Mobil berjalan dengan mulus. Fano semalam tidak ikut minum, ia memilih untuk mabar dengan Alvin yang notabene lelaki itu juga payah dalam toleransi alkohol. Membiarkan teman-temannya meracau sambil bernyanyi asal, kedua lelaki itu pilih pasang headset sambil push rank.

"Fano pulang." katanya di ambang pintu.

Mama dengan celemek memegang spatula di tangan kanan menyambut kedatangan si anak tengah. "Baru pulang. Dikirain ga inget rumah." ketus sekali padahal masih pagi.

Fano mengecup dahi ibunda tercinta. "Inget dong. Kan ada bidadarinya Fano di rumah."

Perempuan setengah abad itu mendecih lalu membiarkan anaknya mengekor sampai dapur. "Duduk aja. Mama masak nasi uduk sama semur tahu. Kamu belum sarapan, kan?"

"Belum, ma."

Mama Nawa menyiapkan menu sarapan. Minggu pagi yang tenang karena orang rumah belum bangun. Fano memperhatikan gerak gesit mamanya.

Mereka duduk berhadapan di meja makan. Mama Nawa menyendok nasi uduk yang masih mengepul asapnya ke piring Fano.

"Ma," Fano berkata lirih. Nyaris tak terdengar jika jarak mereka lebih dari ini. "Ada yang mau Fano omongin."

"Apa?" perempuan cantik itu meletakkan piring Fano di depan anaknya. Menatap lembut seraya menuangkan segelas air putih hangat. "Biasanya mau ngomong ya ngomong aja."

Fano meremas jemari. Kaki mengetuk heboh dengan kepala berputar pusing. "Ini masalah masa depan aku, ma."

"Oke, jadi?"

"Aku punya pacar sekarang."

"Kamu balikan sama Laura?"

Jelas gelengan jadi jawaban non verbal.

"Siapa? Mama ga kenal dong kalau gitu."

Fano pindah duduk ke sebelah mamanya. Meletakkan kedua tangan di pundak sang ibunda. "Mama kenal. Kenal sekali."

"Huh?" mama Nawa menaikkan sebelah alis. Fano dalam beberapa bulan terakhir tidak pernah memperkenalkan gadis manapun padanya, entah sebagai teman atau kekasih. Maka dari itu kebingungan melanda. "Siapa emang?"

Bibir bawah digigit. Rasa segelap langit mau hujan memeluk Fano. "Iyok, ma."

"Becanda aja kamu."

Fano mencengkram pundak mamanya. Memberikan gerak keseriusan lewat bahasa tubuh. "Beneran. Aku ga pernah seserius ini buat mutusin hal yang berkaitan sama hidupku." Mata mereka bertemu. "Aku pacaran sama Iyok."

Mama Nawa berdiri. Napas tersengal dengan sorot mata tak percaya. Berpegangan pada pinggiran meja sebab berita yang barusan ia terima benar-benar tidak bisa diterima oleh nalar. "Kamu ga lagi nge-prank, kan? Sumpah, kalau lagi prank, mama ga mau marah loh, capek."

Fano menggeleng. Jatuh terduduk sambil memeluk lutut mamanya. "Ma, aku mohon restu buat hidup sama Iyok."

"Kamu waras ga sih, Fano? Dia cowok, kamu juga. Aduh kayaknya kamu mabok deh. Sana tidur."

"Demi Tuhan, aku ga mabok. Aku sadar."

"Fano! Jangan sampe kedengeran mas Julio atau yang lain kalau kamu ga mau dipukul. Masuk kamar terus pikirin omonganmu tadi."

Fano berdiri. "Aku ga peduli orang atau bahkan keluargaku sendiri ga setuju. Aku udah gede, masa depanku itu hak aku. Aku cuma mau kasih tau ini aja, ma."

Plak

Mama Nawa lepas kendali. Matanya memerah dengan air mata menggantung. "Mama udah punya firasat dari awal kalau persahabatan kalian ini ga wajar, cuma mama belom punya bukti buat larang kalian. Sekarang mama ga ngebolehin kamu main atau ketemu Iyok. Kalian harus dibawa ke psikiater. Masuk kamu ke kamar atau mama usir dari rumah!"

"Mama, Fano mohon untuk ga ambil langkah yang buat Fano benci sama mama."

"Tinggalin Iyok atau tinggalin mama! Itu pilihan kamu. Pikirin itu baik-baik." Mama pergi dengan murka yang amat sangat besar.

Fano terduduk dengan lemas. Pikirannya hanya satu; Iyok ga boleh sampai tahu.

TBC

⌨ 11 April 2020

[A/N]
Mulai part ini sampai 198 bakal fokus ke coming out FaYok, ya.
Dua request juga bakal aku masukin sebagai alur tambahan.

Oh iya, ayo mutualan di Twitter sama aku,
@/namakukopi

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang