gara-gara lupa

762 66 43
                                    

Fano mengetuk pintu kamar Iyok berkali-kali. Memanggil dengan suara pelan sampai ribut seperti orang yang membangunkan sahur. Tidak ada sahutan ataupun tanda-tanda pintu akan terbuka. Fano menumpu dahi di pintu. Menghela napas frustasi sebab Iyok benar-benar marah.

"Yok, buka pintunya. Ayo ngomong baik-baik."

Suara anak kunci yang diputar namun tidak dengan pintu yang bergerak. Fano menunggu dengan menghitung sampai lima dalam hati, nihil. Iyok tidak juga membuka akses untuknya. Dengan tidak sabar lagi Fano dorong pintu kamar yang sedari tadi menjadi menjadi penghalang dirinya masuk.

Kamar cukup remang. Lampu tidur berwarna cokelat redup menjadi penerangan minim dalam ruangan. Iyok duduk di tengah kasur. Abai. Fokusnya pada ponsel. Tidak merasa terganggu atas langkah Fano yang kian mendekat.

"Kamu kenapa, Yok?" Fano mengambil posisi di sebelah Iyok. Bahu mereka bersentuhan.

Iyok menurunkan ponsel dari pandangan. Wajah yang biasanya memberi senyum kini datar tanpa ekspresi. Terkesan dingin dan menyeramkan. "Pikirmu aja aku kenapa?"

"Aku gak tau."

Mengusap wajah ditambah erang tertahan, Iyok menatap tajam Fano. Menjatuhkan pusat perhatian di jelaga milik lelakinya. "Enak begini?"

"Apa?" Fano menyentuh pundak Iyok yang langsung mendapat tepisan sebagai gerakan defensif. "Kamu kenapa? Aku cari seharian loh. Kamu enggak ada kabar."

Iyok memiringkan badan agar mereka berhadapan. "Kamu cari aku seharian? Gimana rasanya?"

"Jangan tanya, Yok. Khawatir. Khawatir banget."

Tawa sinis serta senyum miring yang menyebalkan tercetak di wajah Iyok. "Itu yang aku rasain ke kamu. Sibuk sekali ya sampai enggak bisa barang semenit chat aku kasih kabar? Enggak usah nelepon kalau terlalu padat waktumu, kasih pesan singkat kalau sibuk sampai malam. Aku kayak sapi ompong nungguin pesanmu masuk. Delfano."

Fano menunduk.

"Pikirmu aku cerewet karena nuntut? Alasan aku minta kabar itu buat tenangin hatiku pas kamu jauh. Aku gak tau aktifitas kamu di sana ngapain? Sama siapa? Udah makan atau belum? Tidurnya cukup atau enggak? Aku enggak tau, Fano. Enggak tau. Terus apa? Ternyata sempat-sempatnya update storygram terus tag-tag orang. Sempat-sempatnya nongkrong sampai tengah malam." Iyok menekan dada Fano pakai ujung jari dengan sangat kesal. "Aku enggak tau apapun tentang kamu seharian. Aku di sini terka-terka kegiatan sama jadwal istirahat kamu. Sesusah itu kirim pesan kalau sibuk dan enggak bisa diganggu?"

Iyok meremas pundak Fano. Melampiaskan amarah yang mau meledak namun terhalang rasa sayang. "Aku capek nunggu, Fano. Misalnya sibukmu sampai malam, aku bisa leluasa tidur sampai lupa dunia atau mungkin lepas ponsel. Bukan, bukan mau ngekang kamu dengan minta kabar. Aku cuma ngerasa dihargai dan dianggap ada sama kamu lewat perhatian kecil meski sekadar sapa itu." Mata memanas. "Nyatanya aku kalah sama sibuk kamu, ya?"

Fano menggeleng. Menangkup wajah Iyok untuk menatapnya. "Enggak gitu, sayang. Maaf. Maaf. Maaf. Aku enggak tau harus bilang apa lagi. Setelah seharian cek hape dan gak ada pesan kamu, aku ngerasa kalau ada yang hilang. Maaf." Fano mengusap air mata yang menggenang di sudut mata Iyok dengan ibu jari. "Aku ngerasa udah menang karena dapetin hati kamu, jadi kemaren-kemaren sempet dikuasai ego. Aku khilaf kesampingin kamu. Maaf, Iyok."

Iris cokelat itu basah. Tangisnya pecah. Beban dalam dada bertumpuk dan meluap lewat isak kecil yang pilu. Fano menyatukan dahi mereka. "Mulai besok, kamu wajib ikut aku kerja. Aku mau liat kamu seharian. Dua puluh empat jam dalam tujuh hari di satu tahunku isinya kamu aja. Kamu bisa nyantai di dalem store dan aku sapa pelanggan. Aku mau kamu bisa tau keadaanku seperti maumu itu. Maaf buat khilafku. Maaf, Iyok."

Isak terdengar sendu. Perih menyayat hati, merobek perasaan dengan luka berbalut duka. "Aku enggak ada niat buat batasin kamu, Fano. Kamu bebas ngapain aja, asal tetap beri aku kabar. Nunggu itu enggak enak, apalagi nunggu orang yang enggak tau kalau dia ditungguin." Iyok merasa dahi Fano berkeringat dingin. "Kayak nunggu kereta api di bandara, Fano. Mustahil."

Fano mengangguk. Mengelap air mata Iyok yang leleh sampai pipinya basah, lembab. "Iya, sayang. Maaf. Maafin aku. Aku enggak ngerasa dibatasi kok. Justru senang kalau kamu ada buat nemenin aku kerja. Mau ya mulai besok ada di setiap harinya aku?"

Iyok mengecup telapak tangan Fano yang menekan pipinya. "Mau. Mau, Fano."

Fano mengecup pipi Iyok. Membawa kepala manisnya untuk bersandar di pundaknya. "Istirahat, Yok. Tidur. Besok pagi yang pertama kamu liat itu aku." bisik lirih itu menghentikan tangis Iyok.

END

5 Maret 2020

Cemilan | FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang