12. Acceptance

6.4K 982 73
                                        

Akhyar terperangah mendengar kata-kata dari mulut Ola barusan. Dia toleh Ola dengan tatapan tak percaya bercampur sedih.

"Jadi kamu tidak tau sama sekali siapa yang telah menabrak suamimu?"

Ola menghela napas berat. Dia menggeleng. Ola tampak berusaha tidak menangis. Giginya dia rapatkan kuat-kuat.

"Turut menyesal, Ola..." ucap Akhyar penuh rasa simpati. Tangannya terlihat bergerak seakan ingin merangkul Ola.

"Kamu sangat mencintainya," desah Akhyar kemudian. Dia urungkan keinginannya merangkul, karena dia tahu Ola pasti tidak menyukainya.

"Iya. Aku bahkan sering memimpikannya. Wajahnya sama sekali nggak berubah. Selalu kasih aku senyum semangat. Dia sehat dan bersih."

Kali ini Ola tidak bisa membendung air matanya lagi.

"Dia nggak pernah berkata apa-apa. Dia diam saja. Tapi setiap kali dia muncul dalam mimpiku, aku selalu bilang kepadanya, tunggu aku..."

Ola menyeka matanya. Baru kali ini dia bisa berkisah tentang mendiang suaminya dan tentang mimpinya. Dia bahkan tidak pernah bercerita kepada Nayra atau Farid. Sebelumnya Ola sempat melarang mereka untuk mempertanyakan tentang kematian orang terkasihnya. Ola hanya membolehkan mereka bertanya tentang kisah hidup bapak mereka yang menggembirakan dan kisah-kisah indah lainnya.

"Boleh?" tanya Akhyar yang ingin mengusap bahu Ola yang tertunduk menangis sesenggukan.

Ola mengangguk pelan.

Akhyar sangat terenyuh mendengar cerita Ola. Meski tidak sepanjang dan sedahsyat kisahnya, tapi ditinggal seseorang selama-lamanya memang sangat menyedihkan.

"Dia sangat baik, Mas. Aku bertemu dengannya pertama kali di Surabaya. Waktu itu aku kerja di restoran. Dia ikut pelatihan guru di sana. Kami berkenalan, saling kirim surat, tak berapa lama dia meminang aku."

Akhyar tersenyum melihat Ola yang mulai tenang.

"Aku diajaknya ke Jakarta. Kami menikah tanpa restu dari keluarganya."

Akhyar terus mengusap bahu Ola dengan lembut.

"Orang tua kamu, Ola? Apakah mereka setuju juga?" tanya Akhyar pelan.

"Aku yatim piatu sejak umur dua tahun, Mas. Orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Hanya aku satu-satunya yang selamat dari kecelakaan itu. Aku besar di panti asuhan di Surabaya,"

Ola tidak menangis lagi. Baginya masa-masa di Panti Asuhan adalah masa terindah dari hidupnya.

"Aku pun nggak ingat wajah keduaorangtuaku. Panti hanya memberitahu nama mereka, Muhammad Nadjib nama ayahku, Fransisca Widjaya nama ibuku. Bapakku pedagang, penjual barang-barang kelontong, Ibuku perawat di rumah sakit,"

"Kamu tidak berusaha mencari tau kerabatmu, Ola? Cari tau gambar-gambar keduaorangtua kamu?"

Ola menggeleng.

"Kata panti mereka nggak mau aku, Mas. Aku juga nggak kuasa nyari-nyari begitu. Nggak ada gunanya juga. Nanti malah semakin nambah persoalan."

Akhyar tersenyum melihat wajah sewot Ola. Meski kisah yang diceritakan sedih, Ola tetap berusaha menghibur diri.

"Aku akan pertemukan kamu dengan anakku, Sabine. Cerita kalian sangat mirip."

"Oh ya?" Ola mendelik.

Akhyar menarik tangannya, karena merasa Ola sudah semakin tenang.

"Meski dia dibesarkan di keluarga yang terhormat, dia tetap tidak diinginkan. Dia selalu disisihkan. Tapi perjuangannya nggak sia-sia. Akhirnya dia temukan jati dirinya yang sebenarnya. Aku bisa melihat perjuangan hidupnya yang selalu tulus menyayangi orang-orang di sekelilingnya. Kini, dia hidup bersama suami yang sangat dia cintai, mertua yang baik hati, anak-anak yang penurut dan nggak pernah menyusahkan. Dan aku yang menyayanginya."

A Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang