Akhyar langsung bersiap-siap mengambil jaket kulit dan celana jins hitamnya. Entah kenapa dia merasa sangat sehat dan kuat dini hari itu. Tidak lagi dia rasakan sakit dan bengap di wajahnya. Terbayang-bayang perjuangannya merintis usahanya yang dia mulai dari bawah hingga meraksasa sekarang. Perjuangan yang tidak mudah. Terlalu banyak yang dia korbankan, waktu mudanya yang tak mengenal cinta, lalu cinta yang kandas di usianya ke tiga puluh, perasaannya, seluruh jiwanya dia kerahkan di sana.
Akhyar tidak rela perusahaan utamanya tumbang dan lenyap begitu saja, di tangan yang salah pula. Akhyar tidak mau mati penasaran, dia tidak mau mati lalu perusahaan itu mati juga. Perusahaan itu adalah jiwa Akhyar. Tak mengapa dirinya mati, asalkan perusahaannya terus selama-lamanya hidup.
"Keni. Jemput aku sekarang..."
"Ya, Pak,"
"Perusahaanku sedang dalam masalah. Ada yang berulah."
"Noted..."
"Ajak yang lain. Jeep hitam. Lima. Kita bagi tugas."
"Ok, Pak..."
"Suruh Tio dan Roni bawa MPV dari rumah Saif. Aku juga butuh dua belas yang lainnya."
Akhyar juga menghubungi kerabat yang lain. Ammi Haidar.
"Akhyar?" terdengar suara serak Ammi Haidar.
"Maaf ganggu sholat malammu, Ammi."
"Aku tidak sedang sholat. Ada apa?"
"Aku ada masalah dengan Bira, Ammi. Aku ingin selesaikan sekarang juga. Atau ada yang masuk penjara atau mati besok pagi..."
"Astghfirullah. Akhyar..."
Akhyar benar-benar tersulut kali ini. Dia sangat geram dengan kelakuan Bira. Setelah mendapat kabar dari Niko tentang keadaan perusahaannya sekarang, Akhyar pun mengecek data-data perusahaannya lewat ponsel dan ipadnya. Niko salah, kerugian yang Akhyar alami, lebih dari yang disebut Niko. Secepat kilat Akhyar menelusuri perusahaannya yang lain, ada juga yang berulah, dan semuanya merupakan perbuatan jahat Bira dan dua orang temannya.
Akhyar geram. Bira dulu adalah pekerja yang jujur dan loyal. Mama Bira adalah adik kandung Abinya Akhyar. Dia ingat sekali bibinya itu menyerahkan dan menitipkan Bira yang alim dan pintar untuk bekerja di perusahaannya. Tidak tanggung-tanggung Bira langsung ditempatkan Akhyar di posisi yang sangat strategis di perusahaannya. Akhyar tidak menyangka sama sekali dengan perbuatan Bira.
"Ola. Sayang. Bangun," desah Akhyar setelah menyingkap kelambu dan merapikannya. Dia sentuh lembut bahu Ola dengan sedikit menggoyangkannya.
Ola memicingkan matanya. Betapa kagetnya Ola, dia lihat Akhyar bersimpuh di hadapannya. Tercium olehnya parfum wangi dari tubuh suaminya. Matanya langsung terbelalak, Akhyar sudah sangat rapi dengan jaket hitam serta sepatu mengkilatnya.
"Mas? Mau ke mana?" tanyanya.
"Ke rumah Niko. Tak perlu ganti baju. Ini jaketmu. Pake..."
"Mas..., ada apa?"
"Nanti aku ceritakan di mobil. Ayo, Sayang. Kita nggak punya waktu lagi..."
Ola langsung menurut. Dia langsung beranjak dari rebahnya dengan dibantu suaminya.
"Nggak perlu, Ola. Sudah aku siapkan di dalam tas..." ucap Akhyar saat Ola hendak menuju lemari baju hendak mencari bra dan celana dalamnya. "Tak perlu kamu pakai. Aku sedang bergairah sekarang..." lanjut Akhyar seraya memakaikan jaket tebal dan besar ke tubuh Ola.
Ola bingung. Dilihatnya Akhyar seperti menahan amarah tinggi.
"Apa ini ada kaitannya dengan Sabine, Mas?" tanya Ola cemas.