Akhyar tatap wajah Ola yang bersimbah air mata. Dia tidak mampu berkata apa-apa. Akhyar merasakan matanya memanas. Lalu tiba-tiba air matanya tumpah begitu saja. Akhyar tidak mengerti kenapa. Dia tidak paham apa makna air mata ini. Sedihkah? Bahagiakah? Akhyar sama sekali tidak paham. Lalu dia merasa sangat aneh. Bingung, ingin tertawa atau menangis?
"Ooh..." desahnya. Dia dekatkan bibirnya ke bibir Ola. Mengecupnya dengan sangat lembut. Akhyar ingin menenangkan perasaannya.
"Peluk aku, Sayang," pinta Akhyar. Suaranya sangat serak.
Ola yang merasa kehangatan dari sikap Akhyar, memeluknya.
"Aku tau ini berat buat Mas. Tapi nggak buat aku," ucap Ola yang memahami perasaan suaminya. Ola usap-usap punggung besarnya.
Akhyar terisak hebat. Perlahan dia selipkan tangannya di bath robe yang melekat di tubuh Ola, lalu mengusap-usap perut Ola dengan mata terpejam.
"Aku bahagia, Sayang. Kamu sudah banyak berkorban demi aku selama ini. Apalagi sekarang. Kamu sedang mengandung..."
Akhyar sudah tidak mampu membendung air matanya."Jangan disebut-sebut, Mas. Aku nggak suka..."
Akhyar terisak sambil terus mengusap perut Ola. Dia buka matanya perlahan, lalu menatap pakaian-pakaian Ola yang bergantungan di dalam lemari. Dia pejamkan matanya sejenak berusaha membuang bayang-bayang buruk.
"Jangan pergi, Ola..." isak Akhyar. "Jangan pernah berpikir pergi dariku." Akhyar menangis hebat. "Apalagi kamu sedang mengandung anak-anak kita. Tambah sepi hidupku nanti..."
Ola terenyuh mendengar isak tangis suaminya. Isak tangis yang paling menyayat hatinya yang selama ini pernah dia dengar. Akhyar benar-benar tidak ingin berjauhan darinya.
"Aku sedih ketika kamu pergi pagi tadi, Ola. Lalu kamu pulang. Dan aku sangat bahagia. Tapi kamu ingin pergi lagi..."
"Maaf..." Ola eratkan pelukannya.
"Seharusnya kamu berterus terang..."
"Aku takut..."
"Kenapa takut..."
Akhyar kini sudah bisa mengendalikan dirinya. Tangisnya perlahan mulai reda. Dia yang peluk Ola sekarang.
"Aku khawatir dengan perasaan Mas. Aku takut Mas berubah. Lalu suasana kebahagiaan keluarga ikut berubah. Aku nggak mau merusak suasana."
Ola menarik napas dalam-dalam dan menghempasnya dengan cepat. Perasaannya mulai lega.
"Apalagi Mas sudah memutuskan nggak mau lagi..."
Ola terisak lagi.
"Ssst..." Akhyar sentuh bibir Ola dengan telunjuknya. Dia tidak ingin Ola melanjutkan kata-kata.
Kemudian Akhyar kecup bibir Ola agar Ola benar-benar tenang.
"Oh..." desah Ola. Dia suka suasana ini. Kecupan Akhyar meski sebentar tapi sangat berarti baginya. Di saat-saat gundah seperti inilah dia butuh dukungan suaminya.
"Buai aku, Mas..." desahnya pelan seraya meletakkan tangan Akhyar ke sela pahanya. Entah kenapa Ola ingin disentuh suaminya sesegera mungkin. Perasaannya hanyut karena berdekatan dengan orang yang sangat dia kasihi.
"Jangan, Sayang. Kamu sedang hamil," Akhyar perlahan menarik tangannya dari cekalan Ola.
Ola memejamkan matanya membayangkan tubuh suaminya menindihnya.
"Aku mohon. Aku ingin merasakannya. Nggak usah ada bungkusan itu, Mas..."
Kata-kata Ola membuat Akhyar tersenyum. "Bungkusan apa, Sayang? Hm?" tanyanya.