Ola menutup pintu rumahnya dengan perasaan gamang. Sebenarnya ini bukan yang dia kehendaki. Memiliki seorang teman pria yang dekat. Sepanjang usianya dia tidak pernah berpacaran. Dulu sebelum menikah, adalah beberapa teman kerjanya yang menginginkan dirinya menjadi seorang kekasih, tapi Ola selalu menolak karena hampir semuanya sudah memiliki kekasih hati. Ola tentu saja menolak karena dia tidak ingin menjadi orang ketiga.
Hingga muncul pria keturunan Iran yang bernama Yusuf. Entah kenapa dulu itu Ola langsung mengiyakan ajakan Yusuf menjadi kekasihnya. Ola mengagumi sikap Yusuf yang apa adanya, sederhana, humoris, juga romantis. Yusuf juga sangat mengerti perasaan Ola. Bagi Ola masa-masa pernikahannya dengan Yusuf adalah masa-masa terbaik dalam hidupnya.
Jika sebelumnya dia merasakan suka cita menerima Yusuf, kini perasaan gamang yang dia miliki ketika menerima Akhyar sebagai teman dekat. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berdekatan dengan Akhyar. Tapi ketika Akhyar berbicara dengannya dari hati ke hati, membawa cucu-cucunya yang lucu lagi berambut keriting, cucu-cucu yang sopan dan tidak merendahkannya, hati Ola tersentuh dengan sikap Akhyar.
Tidak seperti orang-orang kaya pada umumnya yang tentu akan memandangnya rendah karena rumahnya sangat sederhana, Akhyar dan cucu-cucunya tidak demikian. "Poponya mantri sekaligus anggota jemaat Gereja yang sangat taat di Bantul, juga disegani. Nananya guru sekolah. Mereka lahir dan dididik dengan sangat baik di sana. Jadi nggak usah heran dengan sikap cucu-cucuku. Aku hanya tinggal meneruskan dan memolesnya saja," begitu penjelasan Akhyar. Ola tersenyum mendengarnya. Dia lantas teringat akan mendiang suaminya yang selalu berusaha keras mendidik Nayra dan Farid dengan sebaik-baiknya sedari kecil. "Jadilah orang yang jujur. Dengan kejujuran kamu bisa menjadi apa saja yang kamu mau. Kamu bisa diterima di mana saja yang kamu inginkan." Dan Ola juga tinggal meneruskan kata-kata itu dan memolesnya.
"Mas Akhyar. Jangan bilang aku pacar Mas. Sebut saja teman dekat, tempat curhat," keluh Ola ke Akhyar yang menghubunginya lewat ponsel suatu malam.
Sebelum memulai pembicaraan, Akhyar memanggil Bu Ola 'pacarku'. Bu Ola tentu saja keberatan. Baginya itu sangat berlebihan juga menggelikan bagi perempuan setua usianya.
"Apa salahnya, Ola Sayang. Kita juga berhak bersenang-senang,"
"Duh, Mas. Ingat umur. Pake sayang-sayang. Kita udah punya cucu..." Ola tak sanggup menahan tawanya. Akhyar sangat menggelikan.
"Ck. Ola. Cobalah anggap aku pacarmu. Kan kamu melarangku pegang-pegang, sama peluk-peluk. Ya, biarkan aku ucapkan kata-kata sayang, cinta. Mengertilah, Ola Sayang," balas Akhyar dengan nada memelas.
Ola tertawa dibuatnya.
"Mas Mas. Kok kaya sinetron ini kata-katamu. Geli aku, Mas," ujar Ola di tengah tawanya.
"Senang mendengar kamu ketawa, Ola. Tidurku pasti lebih nyenyak malam ini,"
Ola langsung menghentikan tawanya. Sepertinya Akhyar mulai menggodanya.
"Jangankan dengar kamu ketawa, kamu bilang halo saja ke aku sudah bikin aku bahagia."
"Mas Akhyar bisa saja. Duh, kalo anak-anakku tau aku begini, pasti malu aku, Mas,"
"Nggak usah malu. Farid sudah biasa manggil aku Papa..."
"Ha? Mas suruh dia?"
"Iya. Dia tau aku sayang kamu, Ola."
"Trus dia tau kita..."
"Belum."
"Ck. Jangan kasih tau lo, Mas. Aku beneran malu. Terus anak sampean?"
"Sudah. Tapi aku hanya mengatakan kepadanya bahwa aku sedang mendekati seseorang. Dia senang, Ola. Karena dia selalu mengkhawatirkan aku yang selalu sendirian."