Tak lama Evi dan dua orang polisi menuruni tangga ke lantai bawah dan ke luar dari rumahnya, tiba-tiba seorang anak laki-laki yang usianya kira-kira berusia di bawah sepuluh tahun ke luar dari kamar. Dia terlihat menahan kantuknya. Selita terperangah melihatnya. Anak laki-laki itu langsung menanyakan mamanya.
Selita yang iba, langsung menyuruh Mark menggendong dan membawanya menuju ke lantai bawah.
"Nama adik apa?" tanya Selita ketika menuruni tangga.
"Sammy..." jawab anak tersebut pelan. Sammy rangkul leher Mark erat-erat. Dia mulai curiga dengan keadaan rumahnya.
"So sad. He doesn't know anything (Kasihannya. Dia tidak tau apa-apa)..." gumam Mark. Dia ikut sedih melihat wajah Sammy yang digendongnya. Sammy terlihat bingung melihat darah berceceran di ruang tamu, serta banyak orang-orang yang sibuk lalu lalang di luar rumahnya.
"Mamaku mana ya, Om?" tanya Sammy sambil mengucek-ngucek matanya.
Mark memandang Selita yang masih iba.
"Pergi, Sayang," jawab Selita.
"Papa pergi juga ya, Tante?"
Selita mengangguk. Bira sebelumnya terlihat pergi bersama beberapa anak buah Akhyar sambil membawa berkas-berkas dokumen yang dia sudah tanda tangani.
________
Sementara itu di dalam sebuah kamar VIP rumah sakit.
Akhyar akhirnya bisa bernapas lega. Luka robek pada lengan Ammi Haidar sudah ditangani dokter dan para perawat rumah sakit dengan baik. Ammi Haidar pun sudah bisa diajak berbicara, tidak ada lagi kekhawatiran di wajahnya.
"Akhyar. Apakah Bira sudah menandatangani surat-suratmu?" tanyanya kepada Akhyar yang duduk di sampingnya.
"Tidak usah dipikirkan, Ammi. Yang penting Ammi sehat," jawab Akhyar. Ammi Haidar tersenyum hangat mendengar jawaban keponakannya tersebut.
"Masya Allah, Akhyar. Kamu benar-benar sudah berubah dan bertaubat. Aku doakan hidupmu selalu bahagia bersama istri dan anak-anakmu."
Akhyar mengangguk sedih.
"Aku tau Ammi selalu mendoakanku, mendoakan keluarga kita," tanggapnya pelan.
Ammi Haidar menundukkan pandangannya.
"Harta tidak menjamin kebahagiaan. Yang menjadi kita bahagia dengan harta ketika kita membagikannya. Aku tau kamu selalu begitu setiap mendapat keuntungan dari bisnis dan usahamu, Akhyar. Karena itu aku selalu percaya kamu memimpin semua bisnis dan usaha itu."
"Iya, Ammi. Mengenai Bira, biarlah semua menjadi bagiannya. Aku ikhlaskan saja. Aku tidak ingin memikirkannya lagi."
"Tidak bisa begitu, Akhyar. Dia harus mempertanggungjawabkan yang dia perbuat."
"Iya. Aku pasti akan melakukan sesuatu agar dia tidak lagi menyentuh perusahaanku. Biarlah dia menikmati hasil perbuatannya. Aku tidak mau mempedulikannya. Aku akan alihkan semua usahaku ke orang yang sangat aku percaya. Aku akan bicarakan dengan menantuku,"
"Niko. Bukankah sudah pernah kamu tawarkan kepadanya?"
"Iya. Dia tetap tidak mau. Tapi paling tidak dia mampu melihat kinerja orang-orang yang bisa dia percaya untuk menangani perusahaanku nanti."
Ammi Haidar tersenyum melihat kepasrahan Akhyar.
"Kamu luar biasa, Akhyar. Seandainya aku berada di posisimu, tidak akan aku relakan satu rupiahpun dimakan orang yang tidak pantas."
Akhyar tersenyum kecut mendengar kata-kata Ammi Haidar. Sebenarnya dia juga tidak rela. Tapi kesehatan pamannya adalah di atas segala-galanya. Dia tidak ingin menyesal jika seandainya nyawa Ammi Haidar melayang hanya karena ingin membela hak-haknya. Dia tidak akan pernah memaafkan dirinya seandainya itu terjadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/270749651-288-k670351.jpg)