Mbok Min yang ditemani Bu Sari sudah selesai membersihkan dan merapikan rumah Ola. Kini mereka duduk santai di teras depan rumah Ola yang dipenuhi dengan tanaman bunga yang juga mereka rawat selama ini. Minuman hangat serta cemilan juga ikut menemani sore indah mereka.
"Aku tuh yo bingung dengan ibune Nayra iki, Bu Sari. Apa sikapnya sudah ketularan sama orang-orang kaya kayak Bu Hanin ya? Pake privasi-privasi segala. Sembunyilah, nggak kepingin orang ikut campur urusan dialah. Bu Sar apa nggak ngerasa aneh gitu setiap kali aku nanya Nayra tentang ibunya, Nayra selalu jawab mbuhlah, suruh nanya Bu Haninlah."
Mulut Bu Sari berdecak setelah menyeruput tehnya.
"Ya gimana, Mina. Kondisi asline kan cuma Bu Ola yang tahu. Mungkin untuk keselamatan dirinya dan keluarganya. Soalnya kan kasusnya Bu Ola itu berkaitan dengan keluarga besar almarhum Bapak Nayra yang kaya raya juga. Aku hanya menduga-duga begitu. Yah..., wajar saja. Ngapain kita repot-repot mikirin nasib Bu Ola? Pikirin nasib emakmu aja, Mina. Masih sakit-sakitan kan?"
Mbok Min mencibir mendengar pendapat yang diungkapkan Bu Sari mengenai keberadaan Bu Ola yang menurutnya sangat aneh dirahasiakan keluarga Nayra dan Bu Hanin.
Bu Sari tersenyum melihat gelagat perempuan yang memiliki nama asli Siti Aminah Nuryani itu. Mbok Min memang kepo luar biasa. Sedari dulu selalu saja ingin tahu segala urusan yang berhubungan dengan keluarga majikannya. Jika ditanya kenapa ingin tahu, Mbok Min hanya menjawab ya kepingin tau saja atau bisa-bisa ora iso turu kalo nggak tau jawabannya. Benar saja, sudah hampir satu bulan ini tidur Mbok Min tidak beraturan. Pernah ditegur Guntur karena kerja sambil terus menguap, dengan enteng Mbok Min jawab, "Anu, Pak Gun. Saya itu kepikiran dengan Bu Ola. Sudah lama nggak ketemu. Bagas kadang suka mengeluh nggak ketemu eyangnya. Nangisnya sama saya. Hm..., di mana ya sekarang Bu Ola, Pak ee." Sebuah jawaban dari Mbok Min yang bertujuan untuk mendapatkan titik terang mengenai keberadaan Bu Ola. Tapi ternyata, hanya senyum tipis dan kata Oh saja yang ke luar dari mulut Guntur.
"Sudah nanya, Bagas?" tanya Bu Sari. Dia tersenyum melihat wajah cemberut Mbok Min.
"Sudah, Bu. Aku tanya eyang Ola mana, eh dia bilang eyangnya di rumah bawah. Piye? Duh..., gemes lama-lama aku."
Bu Sari tertawa mendengar cerita Mbok Min yang memiliki jiwa kepo yang lumayan tinggi, hingga Bagas kecil pun tidak luput dari perhatiannya.
"Lha. Bagas kamu tanya..." decak Bu Sari.
"Lha..., ibu nanya barusan?" balas Mbok Min.
"Halah, Min. Mending pokus kerja saja. Semoga kehidupan mereka semakin membaik dan nggak ada masalah-masalah lain. Kita doakan saja..."
"Iya, Bu. Tapi aku yo heran rumah ini dibiarkan kosong. Bayar sewa terus-terusan. Ibu nggak ngerasa aneh gitu?"
Bu Sari hanya menggeleng. Tapi di dalam hatinya yang paling dalam, dia memiliki pikiran yang sama dengan Mbok Min.
Lagi asyik-asyik membahas Ola, tiba-tiba ada yang menyapa mereka dari luar pagar. Seorang perempuan bertubuh gemuk, berkerudung lebar.
"Wah. Enak bener sore-sore gosip sambil makan-makan depan rumah orang. Bagi-bagi dong!" sergah perempuan yang tidak lain adalah Wak Tima. Sahabat Ola.
Bu Sari dan Mbok Min tentu merasa senang melihat kehadiran Wak Tima sore itu. Sudah beberapa kali membersihkan rumah Ola, baru kali ini mereka bertemu dengan sahabat sekaligus bos Ola itu.
Mbok Min bergegas bangkit dari duduknya dan melangkah cepat menuju pagar mendekati Wak Tima.
"Ayo. Gabung, Wak. Ada singkong goreng. Mau?"
Wak Tima menggeleng sambil mencibir.
"Ogah! Masa gua disuguh singkong."
"Lha..., katanya minta dibagi-bagi. Gimana sih?"