"Tapi itu haknya setelah aku meninggal, Ola..." Akhyar tetap menyayangkan sikap Sabine. Dia tidak menyangka Sabine yang begitu dia sayangi, berubah sikap karena materi.
"Mas. Kan sampean nggak niat nikah toh dulu. Sekarang Mas berubah. Sudah. Jangan terlalu pusing. Begini saja. Sekiranya Mas nggak kasih ke Sabine, apa hati Mas tenang? Ora toh? Pasti kepikiran terus. Mas pasti nggak tenang karena Sabine udah nagih haknya. Nggak enak kalo ada yang sudah menagih. Kasihan anak-anak kita liat papanya mikirin duit melulu seumur hidup. Aku juga nggak mau hidupku dan hidup anak-anakku ada hutangnya. Mumet urusannya. Cukup yang sudah-sudah," Ola berusaha meyakinkan suaminya bahwa dirinya sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Sabine.
Akhyar mengangguk. Ada senyum tipis di bibirnya. Dia amati wajah Ola yang mulai menunjukkan trauma mendalam karena pernah menghadapi kasus yang hampir sama.
Ola yang awalnya sudah mengantuk berat, sekarang malah tidak bisa tidur sama sekali karena melihat suaminya yang masih berwajah murung.
"Aku yo malah senang Sabine nagih. Kayak Nayra, cepat nagih kalo ada yang berhutang dengannya. Jangan sampe ada omongan di belakang. Jangan Mas nanti nyalahin Sabine. Sabine begini begitu. Aku yakin Sabine itu anak Mas yang baik, yang cantik, yang sabar. Kan Mas sendiri yang cerita ke aku."
"Tapi hidupnya sudah berlebihan, Ola..."
"Jangan sampai Mas berpikiran bahwa orang yang berlebih, tidak berhak menagih. Sabine berhak menagih haknya. Aku rasa dia hanya dilanda bingung, melihat orang-orang menyambut suka cita pernikahan kita berdua, memuji-muji adik-adiknya yang sebentar lagi lahir. Cemburu itu wajar. Wong dia lahir nggak diliat Mas, dan tidak Mas akui. Rasanya penderitaannya nggak setimpal dengan harta Mas yang dia tagih itu."
Akhyar menundukkan pandangannya.
"Tapi anak-anakmu beda, Ola...," desahnya pelan.
"Hah. Mas, Mas. Podo wae. Nayra apalagi. Dikit-dikit, enak ya Sabine..., enak ya adik kembarku nanti..., enak ya Farid, enak ya Papa..., semua dekat ibuu..., aku bakal ditinggaaaal. Gitu. Yah, bedanya emang nggak masalahin harta, karena nggak terikat janji toh. Jadi ya sangat wajar Sabine bersikap seperti itu. Itu tandanya dia merasa sangat dekat dengan papanya, sehingga dia sanggup mengungkapkan isi hatinya..."
Rasa syukur Akhyar memuncak mendengar kata-kata istrinya yang semakin menenangkan dirinya.
"Tapi. Kalung ini bukan punya Sabine kan, Mas?" tanya Ola tiba-tiba sambil menunjukkan kalung pernikahan mahal pemberian Akhyar yang tergantung di lehernya.
Akhyar tertawa melihat wajah cemas Ola.
"Ya. Nggak, Ola. Itu milik kamu seutuhnya."
Ola tersenyum senang.
"Alhamdulillah. Lumayan, Mas. Ini cukup buat seumur hidup kita dan anak serta cucu-cucu kita. Yang penting hidup nggak usah berlebih..."
"Ola..." Akhyar tertawa kecil melihat sikap Ola yang selalu saja membuatnya senang.
"Katanya siap hidup baru toh?"
Akhyar mengangguk tersenyum.
"Ya. Butuh modal, Mas..."
Akhyar remas tangan Ola.
"Apa kamu akan malu jika aku tinggal di rumahmu?" ujar Akhyar bertanya.
"Kok?"
"Malu sama tetangga ternyata suami kamu rupanya nggak punya apa-apa..."
Ola tertawa geli melihat wajah cemberut suaminya. Akhyar terkadang bersikap kekanak-kanakan di hadapannya.
