Ola dan Akhyar sangat menikmati hari-hari mereka selama satu minggu di kota Caen. Hamil besar bukan perkara serius bagi Ola. Ola selalu senang diajak jalan-jalan ke manapun oleh suaminya. Yang paling berkesan bagi Ola adalah ketika berjalan-jalan di taman La Colline aux Oiseaux atau Bukit Burung. Taman yang sangat indah serta banyak jenis hewan yang bisa dilihat di sana. "Seandainya anak-anak kita lahir dan tumbuh sehat, pasti senang lari-lari di sini, Mas," ujar Ola dengan wajah riangnya. Saat itu dia sedang menjelajahi taman indah lagi luas. Banyak anak-anak berlarian ke sana ke mari di sana.
Akhyar tertawa-tawa senang mendengar angan-angan Ola. Dia rangkul hangat pundak istrinya itu erat-erat. "Kita sedang mengajak mereka sekarang, Ola..." ucapnya di tengah tawanya. "Pasti mereka senang sekali, seperti mamanya..." lanjutnya.
Ola menggeleng.
"Aku ingin anak-anakku memanggilku Ibu saja, Mas. Masa Mama? Aneh..." ucap Ola sambil mengelus perutnya.
Lalu keduanya duduk di atas hamparan rerumputan seraya melempar pandangan ke orang-orang lalu lalang di sekitar taman. Sibuk sekali di pagi itu. Cuacanya juga sangat cerah.
"Tapi aku juga merasa aneh kalo anak-anak memanggilku Bapak. Kayak di kantor aja..." balas Akhyar sambil merebahkan tubuhnya di atas pangkuan Ola.
Ola kelabakan dengan gelagat suaminya yang mulai manja.
"Duh, Mas. Duduk ah. Malu diliat orang-orang. Sudah tua juga..." rutuk Ola yang risih dengan Akhyar yang rebah di atas dua pahanya. Ola cemas, dia amati orang-orang yang lalu lalang, khawatir ada yang mengamati kelakuan mereka berdua. Ternyata tidak ada yang peduli.
Akhyar tertawa keras kali ini.
"Ini Caen, Sayang. Bukan gang sempit di dekat rumahmu."
Akhyar lalu bangkit dari rebahnya dan ikut duduk selonjoran dengan dua tangan menopang di belakang.
"Jadi. Gimana, Mama Ola?" goda Akhyar.
"Mas. Ah. Ibu saja..." elak Ola. Dia risih dipanggil Mama.
"Aku juga nggak mau di panggil Bapak..." rutuk Akhyar.
"Lha aku kan nggak minta anak-anak kita nanti manggil Mas Bapak. Nggak papa anak-anak panggil aku Ibu, panggil Mas yo Papa..."
Akhyar menggelengkan kepalanya. Tidak pas menurutnya. Ibu Papa? lebih pas Mama Papa dong. Gimana sih kamu, Ola.
"Lha. Selama ini anak-anak kita panggil kita begitu ya lancar-lancar saja. Nggak ada mereka protes."
Akhyar mengangguk mengiyakan kata-kata istrinya.
"Tapi gimana kalo anak-anak tiba-tiba berubah memanggil mamanya. Kayak Nadzir, anak Uzma. Dia awalnya diajarkan manggil umi abi oleh Uzma, tapi lama-lama panggil orang tuanya mama baba. Karena keseringan ke rumah Adimas..."
Ola tertawa kecil mendengar cerita Akhyar tentang Nadzir, keponakan Akhyar yang pintar, namun tidak banyak bicara.
"Yo wes, Mas. Aku ya pasrah saja..." ucap Ola akhirnya. Akhyar rangkul bahu Ola lebih erat lagi seraya menatap wajah Ola yang memerah karena terik matahari pagi. Ola terlihat sangat cerah dan sehat selama di Caen.
***
***
Baru saja beberapa jam tiba di Jakarta, dering telepon tidak habis-habis terdengar di ruangan apartemen Akhyar. Ada dari partner bisnisnya, manager perusahaannya, pengacaranya, dan ada beberapa keluarganya yang menanyakan perihal pesta pernikahannya.
"Gema ingin bicara..." ucap Akhyar ketika Gema menghubunginya lewat ponsel pribadinya. Dia serahkan ponsel ke tangan Ola.
"Ya, Sayang?" Ola langsung menyapa Gema.
