Meski merasa bahagia mendapat kabar kehamilan Ayu, perasaan Ola kembali gamang ketika tiba di depan rumahnya. Dia tidak langsung memasuki bagian dalam rumahnya, akan tetapi malah duduk di teras samping.
Ola termenung mengingat sikap Akhyar yang di luar perkiraannya ketika bertemu di mall siang tadi. Akhyar tidak menegurnya, bahkan mengabaikannya. Ola mengira mungkin Akhyar memang melaksanakan keinginannya untuk tidak menghubunginya lagi. Sedikit menyesal mengapa dulu dia memutuskan hubungannya dengan Akhyar, padahal dia sendiri masih memendam cinta. Ternyata rasanya sangat menyedihkan saat bertemu secara tidak sengaja, apalagi perasaan cintanya kepada Akhyar baru-baru ini semakin kuat.
Ola menundukkan matanya, mengingat Akhyar dan cucu-cucunya datang mengunjungi rumahnya untuk pertama kalinya. Tampak tangannya gemetar saat tersandar di sandaran tangan kursi, mengingat hangatnya sentuhan dari tangan halus Akhyar. Saat itu Akhyar menyatakan perasaan suka terhadap dirinya.
Sesak dada Ola saat matanya tertuju ke kolam plastik yang tergantung di dinding luar rumahnya. Tawa canda Gloria dan Grace seakan terdengar jelas di telinganya. Saat-saat yang sangat membahagiakan.
Sepertinya perasaan bahagia itu tidak akan kembali lagi, ketika Ola mengingat kembali Akhyar yang berada di restoran bersama keluarga mantan kekasihnya.
Ola menarik tangannya dari sandaran kursi dengan perlahan, lalu menghela napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya berusaha merelakan semua yang telah terjadi dalam hidupnya.
***
Ola hari ini bekerja dengan penuh semangat. Wak Tima senang melihatnya. Ternyata Ola bercerita panjang lebar tentang drama kehamilan Ayu. Ayu mengidam pempek dari Palembang. Ola tertawa menggeleng saat bercerita bahwa Ayu tidak mau makan pempek yang ada di Melbourne, Ayu hanya mau makan pempek asli dari Palembang. Ola begitu semangat bercerita, karena ini baginya satu hal yang menggelikan. Dan matanya penuh binar saat mengungkapkan perasaannya bahwa dirinya akan menjadi seorang buyut dari anak Ayu, cucu sambungnya.
Karena hari itu pekerjaan cukup banyak, Ola pun pulang pukul tujuh malam. Mereka berdua malam itu bekerja sambil bergosip ria. Wak Tima sedang memiliki gosip baru dan hangat, Pak De Satya mau mantu. Anaknya Eki akan segera menikah dengan sepupunya sendiri, Lira. Wak Tima sedikit menyesalkan rencana Pak De Satya tersebut. Karena masih memiliki hubungan kekerabatan yang masih dekat. Apalagi sebelumnya, Lira pernah bermasalah dengan keluarga Pak De Satya sendiri. Namun sepertinya Pak De Satya tidak mempersoalkannya lagi dan mau menerima Lira menjadi menantunya.
Ola yang pulang malam, tentu sangat letih. Dia tidak lagi sempat membersihkan rumahnya. Dia hanya membersihkan dirinya, dan langsung istirahat tidur di kamarnya sekitar satu jam setelah tiba di rumah. Entah kenapa tidur Ola malam itu sangat nyenyak.
Namun, tiga jam kemudian, sekitar pukul sebelas malam, terdengar oleh Ola sayup-sayup gedoran pintu rumahnya.
Ola pun beranjak dari tempat tidurnya dengan perasaan malas.
Betapa terkejutnya Ola saat menyingkap gorden rumahnya. Ada tiga orang berbadan tegap berdiri di depan pintu utama rumahnya.
"Selamat malam, Bu Febyola. Kami dari kepolisian. Ini surat-surat tugas kami. Anda kami tahan," ujar salah satu di antara mereka yang memakai jaket berwarna biru gelap setelah menunjukkan identitas serta surat-surat tugas yang dimaksud.
"Maaf, Pak. Saya terlibat kasus apa?" tanya Bu Ola hati-hati.
"Kasus pemalsuan sertifikat kematian atas nama Ahmad Yusuf Adam serta perselingkuhan."
Ola memegang dadanya. Perasaannya sangat cemas. Ingatannya kembali ke belasan tahun yang lalu beberapa hari setelah kematian suaminya.
"Boleh saya ambil pakaian saya, Pak?" tanya Ola pasrah. Sepertinya dia sudah tahu apa yang menimpa dirinya malam ini.
"Tak perlu, Bu. Langsung ikut saja..." ujar polisi yang satunya lagi.
Ola menurut. Dengan masih berpakaian daster Ola yang berwajah murung bergegas menyorongkan kakinya ke sandal jepit yang ada di depan teras depan rumahnya, setelah menutup pintu rumahnya rapat-rapat tanpa dia kunci.
"Besok saja ibu suruh anak ibu bawa pakaian lengkap. Jika terbukti bersalah dan ditahan lebih lama..." ujar yang lainnya.
Bu Ola mengangguk patuh.
_____
Bu Ola duduk di tengah antara laki-laki berbadan tegap. Terdengar salah satu di antara mereka berbicara lewat walki talki menyatakan bahwa sasaran penangkapan berhasil diamankan dengan lancar.
Ada polisi yang duduk di samping kiri Ola terlihat ragu untuk memborgol tangan Ola, karena dia amati Ola baik-baik saja dan tidak melawan.
"Borgol saja, Dik. Ini tugasmu..." ujar Ola pelan seraya menyorongkan dua tangannya.
Dan polisi muda itu akhirnya tidak ragu melakukannya.
***
Wak Tima heran, pagi ini Ola tidak muncul kerja di rumahnya. Sebagai sahabat sejati, Wak Tima sangat tahu kebiasaan Ola. Jika tidak masuk kerja, pasti dia akan memberitahu lebih awal. Entah kenapa pagi itu hatinya tergerak pergi ke rumah Ola.
Betapa kagetnya Wak Tima, ada Pak RT bersama tiga orang pria yang baru saja ke luar dari rumah Ola. Pak RT sendiri terlihat sedang membawa tas kresek plastik berwarna hitam.
"Lho, Pak?" Wak Tima memandang heran Pak RT.
"Bu Ola semalam ditangkap. Katanya terlibat kasus pemalsuan surat menyurat kematian suaminya. Juga... perselingkuhan. Kasus lama..." ujar Pak RT dengan suara bergetar. Dia sendiri tampak tidak tega saat berucap.
"Ini saya disuruh bawa pakaian Ola seadanya. Hm..., bisa minta tolong pilihkan pakaian dalam, Tima? Saya nggak berani pilih-pilih. Istri saya sudah berangkat ke kantor pagi-pagi..."
Wak Tima bergegas melaksanakan perintah Pak RT.
Begitu memasuki dalam rumah, Wak Tima seperti hendak menangis. Belasan tahun lalu, Ola pernah bercerita bahwa dia pernah dipaksa kerabat mendiang suaminya untuk menandatangani surat menyurat yang dia tidak pahami isinya. Yang Ola ingat kerabat suaminya itu mengatakan bahwa jika dia tidak menandatangani surat-surat itu, hutang-hutang Yusuf harus dia bayar, dua ratus lima puluh juta lebih. Ola kaget karena setahunya Yusuf tidak memiliki hutang sebanyak itu. Panik, Ola tanda tangan saja. Dia tidak ingin menanggung hutang sebanyak itu, juga anak-anaknya kelak.
Ola juga juga bercerita dirinya dituduh berselingkuh dengan tetangganya. Menurut pengakuan Ola, justru tetangganya itu yang mengejar-ngejarnya. Yusuf pun tahu tentang itu. Ola memang sering mengunjungi rumah tetangganya itu karena istri tetangganya adalah sahabat Ola sendiri, yang mengajari Ola mengolah jamu. Ola mengunjungi rumahnya di jam-jam suami tetangganya itu sedang bekerja.
Suatu pagi, Ola dijebak suami tetangganya seolah sedang berduaan di kamar, padahal tetangganya itu meminta Ola memijat anak bungsunya yang sakit parah saat itu. Ola pun menyanggupi. Tak disangka, Ola justru hampir digagahi suami sahabatnya. Tentu Ola berteriak panik, hingga terdengar hampir ke seluruh tetangga. Akan tetapi, entah kenapa justru Ola yang yang dituduh menggoda tetangganya itu.
Ternyata suami sahabatnya itu sudah melapor isu tidak sedap mengenai Ola ke Pak RT. Tragisnya, kejadian itu bersamaan saat Yusuf mengalami kecelakaan yang menyebabkan kematian. Sungguh malang nasib Ola.
"Aku makanya kepingin anak-anakku sekolah tinggi, Wak. Biar nggak bodoh kayak aku."
"Lu apa kagak khawatir suatu saat lu dan keluarga lu terlibat masalah. Ngeri gua dengar kasus lu, La."
"Keluarga Mas Yusuf bilang janji nggak akan ganggu-ganggu aku, kecuali kalo aku usik mereka atau ungkit-ungkit kematian Mas Yusuf lagi. Trus mereka bilang ke aku jangan pernah mengunjungi kuburan Mas Yusuf. Kalo aku usik, penjara balasannya."
Dengan derai air mata, Wak Tima mengambil beberapa pakaian dalam dari lemari pakaian Ola. Wak Tima sempat berdiri mematung mengamati kamar sempit sederhana Ola sambil mendekap pakaian dalam berwarna gelap milik Ola. Terbayang di benaknya sahabatnya itu tidur sendiri di kamar itu. Kecil, sempit, ada dipan cukup ditiduri tubuh Ola seorang diri, lemari pakaian satu pintu yang usang, serta meja dan kursi sekolah yang disulap menjadi meja rias.
"Ya Allah, Olaaaa..." Wak Tima meraung-raung ketika mengingat masa kecil Ola yang lebih tragis lagi.
***