Ola terkesiap. Ada suara yang sangat dia kenal menegurnya.
Ola merenggangkan pelukannya dari Farid dan menoleh ke belakang.
"Mas..." desahnya kala melihat sosok tinggi sudah berdiri tegap, memberi senyuman terhangat untuk dirinya.
Sesak dada Ola melihat senyuman itu. Senyuman yang pernah menghiasi hari-harinya dulu sebelum berada di dalam tahanan. Senyuman yang memberinya kenyamanan serta kehangatan.
Ola pegang dadanya. Dia pun semakin terisak dengan keadaannya. Sebentar dia toleh Farid yang memberikannya senyum yang disertai tawa kecil.
Akhyar dengan cepat meraih tangan Ola, menariknya dan sedikit memaksa Ola untuk segera mengikuti langkahnya.
"Ke mana, Mas?" tanya Ola kebingungan. Ola jadi tergesa-gesa mengikuti langkah panjang kaki Akhyar. Akhyar diam tidak menjawab. Dia terus saja melangkah cepat sambil menggeggam tangan Ola menuju sebuah ruangan di ujung koridor tahanan.
Ola terkejut bukan main, Akhyar mengajaknya memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan yang sangat kecil.
Ola benar-benar bingung dengan keadaannya. Apalagi saat Akhyar mengunci pintu ruangan itu dari dalam.
"Olaaa..." desah Akhyar. Dia buru tubuh Ola dan memeluknya seerat mungkin.
"Mas..." Ola berusaha menolak pelukan Akhyar. Tapi Akhyar menahan penolakan Ola.
"Farid masih di luar..." decak Ola.
"Waktu kunjungannya sudah habis, Ola. Sekarang giliran aku..."
Ola tak bisa menampik perasaannya yang seketika nyaman berada di dalam pelukan Akhyar. Aroma wangi tubuh Akhyar yang khas membuatnya lupa akan segalanya.
"Aku rinduuu..." desah Akhyar dengan suara beratnya.
"Maafkan aku, Olaa..." ucapnya penuh rasa sesal.
Ola mengangguk. Dia pejamkan matanya ingin menikmati hangat pelukan Akhyar.
Akhyar yang merasa Ola pasrah di dalam pelukannya, mulai berani meraba-raba tengkuk leher Ola.
"Mas...sudah...." Ola berusaha mengelak dengan menepis tangan Akhyar.
Akhyar yang mulai beringas mencoba menyusuri bibirnya ke wajah Ola.
Ola cepat menggelengkan kepalanya dan menjauhkan wajahnya dari wajah Akhyar.
"Mas...cukup."
Akhyar tidak menyerah. Dia eratkan pelukannya.
"Aku rindu kamu, Ola..." ujarnya sedih. "Aku minta maaf..." ucapnya kemudian.
"Aku maafkan, Mas..." balas Ola sungguh-sungguh.
Akhyar merenggangkan pelukannya sekarang.
"Kamu maafkan aku, Ola?" tanyanya memastikan. Dia tatap wajah Ola yang sedikit tampak ketakutan.
Ola mengangguk cepat.
"Iya, Mas..."
Mata Ola mengerjap. Dia tidak sanggup membalas tatapan tajam dari mata Akhyar. Tatapan yang dia rindukan.
Akhyar tersenyum melihat gelagatnya.
Akhyar raih tangan Ola, Lalu mengecup-ngecup punggung tangan Ola.
Ola biarkan Akhyar melakukannya.
Puas mencium punggung tangan Ola, Akhyar kembali memeluk tubuh Ola.
Lalu dia kembali beraksi mencoba menciumi wajah Ola. Kali ini sedikit berhasil, meski Ola bergerak-gerak menghindarkan wajahnya dari wajah Akhyar yang terus memburunya.
Ola menyerah. Akhyar sepertinya memang sangat merindukannya.
Dia biarkan juga bibir pria itu menyentuh bibirnya.
Mata Akhyar terpejam saat merasakan lembut bibir Ola juga hangat napas yang ke luar dari mulut Ola yang beradu dengan deru napasnya.
Ola juga demikian. Entah kenapa perasaannya sangat nyaman saat bibirnya menyatu dengan bibir Akhyar.
Saking nyamannya, Ola tidak menyadari bibirnya sedikit terbuka dan siap melumat bibir Akhyar. Akhyar dengan perlahan membalasnya, dengan gerakan yang sama.
Akhyar yang sesak ingin berbuat lebih jauh, mulai meraba-raba dada Ola, hendak meremas buah dada Ola yang masih sangat kencang.
"Nggak benar ini, Mas. Astaghfirullah. Nggak benar iniiii..." rintih Ola sambil menepis-nepis tangan Akhyar yang terus memburu buah dadanya. Juga bokongnya.
"Kita buat ini menjadi 'benar' nanti malam..." desah Akhyar seraya menatap mata Ola dalam-dalam. Ola benar-benar terpaku dengan tatapan Akhyar.
"Tinggal kamu bilang saja bahwa kamu bersedia mengikuti proses hukum yang seharusnya kamu ikuti."
Akhyar dekatkan bibirnya ke telinga Ola. "Bilang bersedia, Sayang..." bisiknya.
Mata Ola terpejam. Suara Akhyar begitu merdu di telinganya.
"Iya, Mas. Aku bersedia..." balas Ola akhirnya.
Akhyar tersenyum puas.
"Aku nikahi kamu malam ini. Detik ini juga kamu bebas..."
***