"Sekarang kamu tau kan akibatnya jika nggak bisa nahan emosi sesaat. Kamu tuh taulah Papa. Gampang tersinggung, gampang ambil kesimpulan, gampang pula ambil tindakan. Aku sudah hafal wataknya. Makanya aku nggak mau ambil resiko balik ke kantornya."
Suasana hati Sabine perlahan tenang berada di pelukan suaminya yang terus menenangkannya.
"Aku akan ubah surat itu, Mas..."
"Iya. Tapi kamu nggak bisa ubah luka hati Papa,"
Sabine terdiam. Dia eratkan pelukannya. Niko membalasnya.
"Kita tau dia punya salah. A very big mistake. Dia pun menyadarinya. Selama ini dia tunjukkan sikap ingin menebus rasa salah itu dengan memberikan yang terbaik untuk hidup kita. Kita hargai usaha dia, dengan tidak mengungkit-ungkit salah dia, apalagi mengungkit harta."
"Aku benar-benar menyesal, Mas."
"Ah, Sabine. Aku nggak nyangka kamu setega itu. Semua tau bahwa kamu akan memiliki semua yang dia miliki, jika dia sudah tidak ada lagi. Namun jika pun kamu tidak memilikinya, hidup kita sudah terjamin. Aku sudah jamin anak-anak kita, cucu-cucu kita kelak. Kamu nggak seharusnya menuntut, apalagi mempertanyakannya di saat dia masih hidup. Sedang dalam puncak kebahagiaan."
Niko menggelengkan kepalanya. Dia pun ikut larut dalam penyesalan, menyesali sikap Sabine yang pasti berdampak pada sikapnya terhadap keluarga besar, dan pasti juga keluarganya di Bantul.
"Apa yang membuatmu begini..."
Sabine menggeleng.
"Apa ada seseorang yang membuatmu berpikir sejauh itu?"
Sabine menggeleng lagi.
Niko menghela napas panjang. Dia ragu jawaban Sabine.
"Besok Mama datang. Kamu harus siap menjelaskan pada Mama sejujur-jujurnya.
"Bantu aku, Mas..."
"Pasti, Sayang. Kita hadapi masalah ini sama-sama. Aku tau kamu sangat menyesal. Ingatlah, ini adalah pelajaran terbesar dalam sejarah hidup kamu. Bahwa menahan emosi dan berpikiran jernih sebelum melakukan sesuatu itu sangat penting dalam hidup. Atau kamu akan terjerumus dalam hidup yang tidak menyenangkan."
Sabine mendongakkan kepalanya seraya menatap wajah suaminya. Niko memang sosok yang tenang dan menenangkan. Dia tidak pernah tergesa-gesa memutuskan sesuatu. Dia selalu berpikir baik-baik dan memperhitungkan segala sesuatunya sebelum bertindak. Terbukti jalan hidupnya lurus dan tidak pernah mengecewakan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
"Tidurlah. Besok Mama datang..."
Senyum Sabine perlahan mengembang.
"Ini pertama kali dia datang, Yang. Walaupun dalam keadaan yang tidak mengenakkan. Beri dia penjelasan..."
Sabine menganggukkan kepalanya. Itulah Niko. Selalu berpikir positif meski dalam keadaan yang tidak menyenangkan.
_______
Sementara itu di salah satu sudut kota Melbourne...
Silvi menghela napas panjang melihat wajah kesal mamanya yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam koper kecil. Ada Mark, suami mamanya yang turut membantu.
"Apa nggak sebaiknya ditanya dulu ke Sabine, Ma?"
"BUAT APA?!"
Silvi terkaget-kaget mendengar hardikan mamanya. Dia tahu mamanya sangat kesal karena Akhyar menghubunginya semalam. Akhyar menyangka bahwa selama ini mamanya memanfaatkan uang Sabine untuk memenuhi kebutuhan kehidupan mereka, dan menuduh mamanya ingin menikmati harta-harta Sabine. Tuduhan yang salah, tapi menurutnya mamanya terlalu terbawa emosi.
