22. Better I leave

6.1K 969 114
                                    

Sesak dada Akhyar ketika melihat Ola yang sudah duduk rapi di dalam mobil tersenyum ke arahnya yang berada di luar mobil. Cukup lama mereka saling pandang, tanpa ada kata-kata yang ke luar dari mulut masing-masing. Ola yang memandangnya dengan raut wajah lega dan Akhyar yang memandang wajah Ola dengan penuh rasa cemas. Namun keduanya saling memahami, mereka saling mencintai dengan caranya masing-masing.

"Jalan, Ken..." desah Akhyar akhirnya.

Ola tersenyum lebar mendengarnya. Dia sangat lega.

______

Sungguh malam yang melegakan bagi Ola. Terbayang di benaknya hari-harinya ke depan. Bekerja seperti biasa, bertemu dengan rekan-rekan kerjanya, bersendagurau dengan mereka, mendengar curhatan dan banyolan Wak Tima, mendengarkan gosip-gosip seputar tetangga. Ola tersenyum membayangkan kehidupannya yang kembali normal, apalagi saat membayangkan bermain bersama cucu di atas. Ada kerinduan yang mendalam saat membayangkan kehidupan anaknya, Nayra. Dia rindu dengan keadaan rumah anaknya tersebut. Sudah hampir seminggu ini Ola merasakan kehidupannya kurang normal. Ini gara-gara jatuh cinta, gumamnya.

Jika perasaan Ola tenang, tapi tidak dengan Keni. Sesekali dia melirik-lirik Ola lewat kaca spion mobil. Dia terlihat sangat menyesal. Meski dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia merasa menjadi penyebab rusaknya suasana hati bosnya malam ini. Dia sangat hafal gelagat Akhyar. Akhyar tidak pernah sesedih malam ini, apalagi mengingat raut wajah Akhyar memintanya mengantar Ola, "Ken. Tolong antar Ibu." Setelahnya, hanya helaan napas yang sangat berat dan wajah murung.

"Maaf, Bu. Boleh saya tau tadi ada kejadian apa? Saya sempat dengar ribut-ribut. Apa ada hubungannya dengan ibu?" tanya Keni.

Ola tergelak. Tersenyum mengingat wajah-wajah kebingungan ibu-ibu saat memilih alas kaki mereka saat pulang. Seperti anak-anak menurutnya.

"Iya, Ken. Maklum ibu-ibu. Panik sendalnya tertukar. Lagian ke luarnya kok nggak antri gitu..."

Keni ikut tersenyum mendengar jawaban Ola.

"Ibu emangnya ikut berebutan?"

Ola sepertinya tidak ingin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi.

"Nggak. Ibu nggak ngerti mereka ngomong apa. Kayak teriak-teriak gitu. Ibu nggak biasa dengarnya..."

Keni mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Haha. Keluarga besar Pak Akhyar emang begitu, Bu. Sombong-sombong. Apalagi yang namanya Saoda, istrinya Ammi Haidar, paman Pak Akhyar. Yang gendut gede tinggi itu, Bu. Duh, Kalo saya ketemu dia, mending saya kabur saja..."

Ola tersenyum, ternyata wanita yang memarahinya di rumah Uzma bernama Saoda.

"Ibu ketemu nggak tadi?"

"Iya..." Ola malah senyum-senyum mengingat amarah perempuan yang tubuhnya mirip sekali dengan Wak Tima, sahabat kentalnya. 

"Dia biang keladi, Bu?"

"Nggak tau, Ken..."

"Orang-orang bilangnya sebenarnya baik. Tapi tetap saja kalo ngomong nyakitin,"

Ola tersenyum saja mendengar cerita Keni. Benar dugannya, hanya salah paham. Tapi Ola tetap bertahan untuk mengalah saja. Hatinya cukup sedih mengingat bahwa bukan Saoda saja yang memandangnya dengan amarah, tapi juga tamu-tamu perempuan lainnya.

"Ken. Bisa berhenti sebentar di warung. Ibu mau beli sesuatu..." pinta Ola tiba-tiba.

Tak lama Keni memelankan laju mobil begitu dilihatnya sebuah warung kecil.

"Ibu mau beli apa. Saya yang turun," tawar Keni.

"Nggak usah, Keni. Biar ibu yang turun. Kamu tunggu sebentar ya? Ibu nggak akan lama."

A Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang