98. Jawab, Sabine

5.2K 953 118
                                    

Niko mendudukkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya sangat kacau memikirkan kejadian siang hingga sore ketika mendapat kunjungan mertuanya. Setelah Sabine menerima surat menyurat mengenai harta papanya, Akhyar tidak serta merta pergi dari rumah mereka. Akhyar duduk-duduk istirahat menunggu Ola yang sedang tidur nyenyak di kamar kembar. Si kembar tidur di sisinya sambil memegang dadanya. 

Akhyar tidak lagi membahas permasalahannya dengan Sabine, dia malah sering menyinggung tentang kembar dan seputar keluarga di Bantul. Bahkan di sela-sela istirahatnya, mertua Sabine cukup lama menghubungi Akhyar lewat telepon rumah. Mereka menyatakan maaf tidak menghadiri acara bahagia Akhyar, karena ada acara yang sama di keluarga besar mereka dan mereka sudah jauh-jauh hari dilibatkan di acara tersebut. 

Niko tidak habis pikir dengan ulah Sabine yang menurutnya sudah di luar batas. Mempermasalahkan harta warisan tepat di hari bahagia papaibunya? Ini tidak bisa diterima.  

Niko sangat mengenal Sabine. Rasanya tidak mungkin Sabine bertanya atas dorongan dirinya sendiri. Pasti ada yang menghasudnya atau memanas-manasinya. Tapi siapa?

Bayangan wajah Mama kandung Sabine melintas di benak Niko. Apa iya? Selita yang menghasudnya? Niko menggeleng tidak percaya. Sabine jarang menghubunginya, kecuali di saat mereka meminjam uang atau mengembalikannya. Selita dan keluarganya memang kerap meminjam uang dalam jumlah besar, tapi selalu mereka kembalikan tepat waktu meski terkadang Niko menolaknya. Mereka sedang membangun usaha properti di Solo, Bandung, dan di Bogor. Baik Selita, anak-anak dan para menantunya bahu membahu membangun usaha mereka. Mereka sedang memperbaiki kehidupan mereka menuju kehidupan yang lebih baik.

Niko terkesiap. Sabine sudah duduk di sampingnya dengan wajah tertunduk.

"Sudah tidur anak-anak, Yang?" tanyanya. 

Sabine mengangguk lemah. Dia terlihat tidak semangat.

Niko yang mengerti perasaan Sabine, perlahan meraih tangan Sabine dan meletakkannya di atas pangkuannya.

"Maafkan aku, Mas," ucap Sabine. 

Niko menarik napasnya dalam-dalam sambil mengusap-usap punggung tangan Sabine.

"Apa yang membuat kamu bersikap seperti itu, Sabine. Apa kurangnya kita, Yang."

"Aku nggak minta, Mas..."

"Tapi kamu singgung itu. Papa bilang kamu sampai menanyakan apa akan berbagi dengan adik-adikmu nanti. Itu sangat tidak bijak."

Niko menggeleng. Matanya tertuju ke lantai kamar.

"Aku bahkan bertekad tidak mau menyentuh harta papamu selagi aku mampu. Aku tau semua yang kita miliki tidak terlepas dari tangan Papa. Aku bekerja dan memiliki perusahaan Igor juga lewat nego Papa. Aku akui itu. Tapi aku tidak tertarik menyentuh miliknya."

Sabine menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangisnya.

Niko sepertinya masih enggan melihat wajahnya.

"Apa ada yang menghasudmu?" tanya Niko.

"Nggak ada, Mas..." jawab Sabine cepat. Dia menggeleng kuat.

"Lalu apa yang membuatmu berpikiran sejauh itu, Yang?"

"Aku nggak tau. Aku merasa aku seperti dulu lagi. Seperti berbeda dan terbuang..."

Niko mulai mengangkat kepalanya dan melihat wajah Sabine yang masih takut-takut memandangnya. Lalu dia menggeleng tidak percaya.

"Sangat disayangkan kamu nanya di hari bahagia mereka. Kamu apa nggak tega liat Papa sudah berumur. Ibu apalagi..."

Sesak dada Niko saat mengingat Ola yang terlihat sangat senang selama berada di rumahnya. Namun dia tidak kuat menahan tangis ketika membayangkan tubuh tua itu yang sedang mengandung adik-adik Sabine. Lebih sedih lagi ketika mengingat anak-anaknya yang hampir menangis karena harus melepas eyangnya pulang.  

"Aku telepon Keni. Keni bilang Papa dan Ibu sudah tidak tinggal di apartemen lagi..."

Sabine terisak. Lalu menangis sejadi-jadinya.

"Mereka tinggal di rumah Ibu. Di gang sempit dekat rumah Mas Guntur..."

"Papaaa..."

"Tega kamu, Sabine..."

"Ibuuu..."

"Papa sampai bilang ke aku. Dia sangat menyadari kesalahannya yang sudah menelantarkan kamu bertahun-tahun, bahkan hampir membunuhmu. Dia sangat lega saat kamu menerima harta-hartanya..."

Sabine tertunduk dalam-dalam. Ini sangat tidak enak. Lebih tidak enak daripada saat mengetahui bahwa dia adalah anak dari hasil hubungan gelap.

"Tidak perlu kamu sesali. Ini sudah terjadi. Tapi jangan libatkan aku masuk dalam orang yang mengurus harta-harta Papa. Aku tidak mau mengganggunya..."

Sabine remas rambutnya kuat-kuat. Dia sama sekali tidak bermaksud menguasai harta papanya. Dia sendiri merasa aneh, kenapa pertanyaan itu langsung meluncur begitu saja dari mulutnya saat itu. Padahal bukan itu maksudnya. Dia sendiri juga waktu itu sedang menenangkan diri karena dorongan kecemburuan yang semakin kuat. Dia tidak menduga Akhyar muncul di hadapannya.

Tiba-tiba ponsel Sabine yang berada di meja kecil dekat Niko duduk berbunyi cukup kuat.

Niko langsung mengambilnya.

"Mama Selita..." ucap Niko seraya menyerahkan ponsel ke Sabine.

Sabine terperangah. Kenapa mamanya menghubunginya di malam yang cukup larut ini?

"Halo, Ma..."

"Sabine!! Kenapa Akhyar menuduh Mama mau menguasai harta-hartanya? Kenapa?!"

Sabine terkejut mendengar suara mamanya yang menggelegar di telinganya.

Tangan Sabine yang memegang ponsel terlihat gemetar. Niko lalu memeluknya kuat-kuat.

"Papa hubungi Mama?"

"Iya. Baru aja. Mama tidak terima dituduh Akhyar. Demi Allah! Mama kejar orang jahat itu!"

"Mama..."

"Mama tidak tau menau urusan harta-harta dia!! Kenapa Mama dituduh?! Mama tidak bisa terima! Kenapa, Sabine? Ada Apa??"

Sabine tidak mampu membalas amarah mamanya. Dia tidak menyangka papanya berpikiran sejauh ini. Mama Selita tidak pernah mempengaruhinya.

"Mama selama ini selalu memastikan bahwa uang yang Mama pinjam darimu adalah dari Niko. Bukan dari Akhyar! Kenapa dia berpikiran seperti itu? Dulu memang dia sudah tolong Mama. Tapi Mama tidak mau mengganggu orang jahat itu lagi. Mama tidak seserakah itu!! Ada apa, Sabine?"

"Mamaaaa..."

"JAWAB!!"

Sabine hanya menangis di bawah rangkulan Niko.

"Mas. Tolong aku..."

Sabine tidak mampu lagi menggenggam ponselnya. Tubuhnya seketika terasa lemas. Ini hari terburuk dalam hidupnya.

"Iya, Ma..." Niko mengambil alih panggilan Selita.

"Besok. Mama pulang ke Jakarta."

***

A Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang