Acara resepsi pernikahan Ola dan Akhyar berlangsung sangat meriah. Semua tamu yang hadir menatap pasangan yang usianya tidak lagi muda ini dengan perasaan kagum. Pesona keduanya sangat jelas terlihat. Akhyar yang dengan senyum hangatnya dan Ola yang sikapnya sangat bersahaja. Apalagi Ola yang tampak tenang berjalan meski tengah mengandung. Hampir semua berdecak kagum melihat penampilan Ola, bak ratu sejagad raya.
Ola lega. Ternyata apa yang dia khawatirkan tentang kehamilannya saat resepsi pernikahannya tidak menjadi bahan cibiran. Sebaliknya, malah menjadi pujian para tamu undangan. Karena mereka sudah mengetahui bahwa yang dia kandung adalah sepasang anak laki-laki dan perempuan. Terlebih, Ola tampak sehat dan segar dengan penampilannya.
Berkali-kali Ola mengerjapkan matanya memastikan bahwa apa yang dia alami bukanlah mimpi. Ola tidak pernah memimpikan pernikahan yang sangat luar biasa ini. Pernikahan yang diadakan di gedung mewah, dihadiri para tamu yang berpakaian mewah dan rapi yang datang dari berbagai negara. Ola seakan-akan baru menyadari bahwa suaminya bukan pria biasa. Padahal dalam keseharian, Ola memperlakukan Akhyar sebagai suami dengan tidak terlalu mengagung-agungkannya. Bagi Ola Akhyar manusia biasa, laki-laki biasa, laki-laki normal yang membutuhkan kasih sayang perempuan. Ternyata di luar sana, Akhyar adalah pria yang sangat mengagumkan banyak orang.
Pun Akhyar. Dia sangat bahagia. Tangannya seakan tidak ingin lepas dari tangan Ola, perempuan yang sangat dia cinta, perempuan yang berhasil melepas dirinya dari belenggu bayang-bayang masa lalunya, yang membuat hari-harinya sangat membahagiakan. Ola sangat spesial di hatinya.
Akhyar dan Ola saling tatap ketika sudah berdiri di atas panggung. Rasanya tidak ada lagi kesedihan yang akan singgah di kehidupan mereka ke depan. Lebih-lebih, mereka akan menghabiskan waktu bersama sepasang anak yang pasti lucu dan pintar.
________
"Ola. Aku mau ke toilet sebentar," bisik Akhyar yang tiba-tiba meringis menahan sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya. Akhyar terlalu banyak minum saat acara berlangsung. Maklum, cukup banyak tamu yang mengajaknya ngobrol-ngobrol. Terutama ketika duduk-duduk di hadapan meja bundar yang dikelilingi tamu-tamu penting Akhyar.
Ola tersenyum mengangguk. Lalu pengawal-pengawal Akhyar dengan sigap menjaga posisi duduk Ola.
Ola tatap punggung Akhyar yang melangkah terburu-buru menuju toilet. Perasaannya sedikit terganggu, karena tentu saja dia bingung menanggapi percakapan dari tamu-tamu Akhyar yang masih duduk mengelilinginya.
Tapi Ola lega. Farid, Guntur, dan Said datang menghampirinya.
"Ke toilet..." bisik Ola saat Farid bertanya perihal keberadaan papanya. Farid terkekeh mendengar jawaban ibunya. Lalu tiga pria itu dengan semangat melayani pembicaraan para tamu yang berada di sekeliling Ola.
_______
Akhyar ke luar dari toilet dengan perasaan lega. Rasanya tidak nyaman sama sekali duduk menahan buang air kecil. Lebih baik dikeluarkan daripada menjadi penyakit. Tak mengapalah para tamu menunggunya. Lagipula tidak lama juga dia berada di dalam toilet. Keni juga melaporkan bahwa ada Farid, Guntur dan Said yang sedang melayani para tamu pentingnya. Pasti Ola tidak merasa terabaikan.
Namun saat dirinya melangkah ke luar dari toilet hendak kembali ke ruangan utama, dia melihat sosok perempuan berambut pendek tengah berdiri sendirian menghadap kaca besar.
"Sabine?" gumam Akhyar dengan perasaan was-was. Pikirannya seketika dipenuhi tanda tanya. Kenapa Sabine terlihat sendirian?
Perempuan itu berbalik menghadap ke Akhyar dengan senyum kecut.
"Papa..." desahnya. Wajahnya tampak menahan kesedihan.
Wajah Akhyar langsung berubah kusut. Pikirannya kalut. Ada apa dengan Sabine?
Akhyar dekati Sabine yang tampak tidak ingin beranjak dari posisinya.
"Sabine. What is wrong with you?" tanya Akhyar penuh kelembutan. Pikirannya berlari cepat menuju saat pertama kali dia menemukan Sabine di depan lift sebuah hotel. Ekspresi wajah yang sama saat dia menemukan Sabine. Bedanya, dulu Sabine terlihat kumuh, kini sangat rapi, bersih, dan cantik.
Sabine terlihat mengatur deru napasnya.
"May I ask you something?" tanya Sabine. Suaranya sangat lirih terdengar.
"Yah. Apa?" Akhyar balik bertanya.
Bibir Sabine gemetar saat hendak mengucapkan sesuatu. Dia tampak berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
"Apa Papa akan berubah? Apa perjanjian itu akan berubah? Apa..., harta itu akan terbagi? Atau aku tidak sama sekali mendapatkannya?"
Akhyar terhenyak. Pertanyaan yang sama sekali tidak dia sangka terucap dari bibir Sabine.
"Sabine..."
"Maaf. Aku hanya bertanya. Bukan menuntutnya. Aku tau Papa masih hidup..."
Sabine menggigit bibirnya.
Akhyar menghempaskan napasnya. Napas yang penuh kekecewaan. Tiba-tiba terlintas di benaknya kata-kata Ammi Haidar. Ammi Haidar sangat mengkhawatirkan Sabine yang menurutnya akan mempermasalahkan pembagian harta, karena statusnya sekarang sudah berubah. Akhyar bukan lagi ayah tunggal Sabine, tapi akan menjadi Ayah dari anak-anak hasil pernikahan yang sah. Kekhawatiran Ammi Haidar benar-benar terjadi sekarang. Yang menyakitkan, kenapa Sabine menanyakannya di hari bahagianya.
Akhyar teguk ludahnya kelu. Kerongkongannya sangat kering. Sepertinya dia butuh air yang banyak untuk menyerang dahaganya.
"Papa tidak akan merubahnya..." ucap Akhyar akhirnya.
Sabine tampak menyesal mendengar jawaban dari mulut papanya.
"Semua akan menjadi milik kamu," lanjut Akhyar.
Sabine sekarang yang terhenyak.
"Tanpa harus menunggu ajal Papa. Semuanya milik kamu, Sabine. Hanya untuk kamu seorang..."
Akhyar dengan langkah gontai berbalik menuju ruang acara. Hatinya benar-benar hancur. Lebih-lebih membayangkan anak-anaknya nanti lahir dalam keadaan tanpa harta.
Akhyar menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh lagi ke arah Sabine yang berdiri kaku memandang punggungnya.
"Adik-adikmu belum lahir, Sabine. Kamu sudah menanyakannya..." ucapnya penuh sesal.
***
"Ola..., apa kamu takut jika kita jatuh miskin?"